Penulis: Wayan Sudarmaja
SETIAP saat kita disuguhi postingan orang sukses di medsos. Mulai dari gowes dengan sepeda mahal, sarapan di resto mewah,selfi di hotel bintang lima,hingga segala macam gaya hidup hedon. Pejabat publik juga ketularan flexing. wali kota Solo dan walikota Medan naik jet pribadi jalan jalan keluar negeri. Apakah fenomena ini sebagai indikator dan parameter bahwa sudah banyak orang makmur dinegeri ini.
Hal senada, postingan pamer kemewahan oleh remaja kita. Apakah budaya nongki di cafe sekedar hasrat untuk meniru prilaku orang sukses yang di identikan dengan kaya raya (demonstration effect). Atau kita tidak sadar bahwa ada pesan ideologis didalam Cafe sebagai implementasi dari gaya hidup konsumtif?.
Budaya Nongki di Cafe
Bicara cafe ingatan kita terbawa pada kopi. Kopi luwak Arabika yang ditanam diketinggian 1000 meter lebih diatas permukaan laut dan diolah di Indonesia. Khususnya di tanah Swarnadwipa, pulau Sumatra kopinya terkenal diseluruh dunia. Budaya ngopi di warung kopi sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak sebelum ada republik.Tetapi membuat bisnis cafe yang wah sebagai tempat nongki sambil bersosialisasi sudah dikenal di Eropa sejak abad ke tujuh belas.
Bahkan Revolusi Perancis digagas di cafe oleh klas menengah Perancis sebagai antitesa gaya hidup Raja absolut yang selalu memamerkan gaya hidup mewah. Sekarang Budaya nongki di cafe sudah menjadi keseharian gaya hidup masyarakat urban dikota besar Indonesia. Dampaknya relasi sosial longgar. Anak sekarang tidak tahu alamat temannya. Komunikasi hanya lewat HP. Pulsa menjadi kebutuhan primer.
The art of coffee
Perkebunan kopi dibangun oleh kolonialisme Belanda pada zaman kebijakan cultur stelsel di Hindia Belanda. Perusahaan Belanda bernama Daarhnour mampu mengekspor kopi luwak keseluruh dunia. Mereka punya kemampuan mengkemas, mempromosikan dan mengolah (kemampun enrichment).
Mereka paham mempraktekan the art of coffee, the science of coffee, mampu mengelola coffee house secara profesional. Plus membuat pencitraan (image) bahwa ngopi di cafe waralaba asing lebih bergengsi, lebih gaul, lebih mencerminkan gaya hidup klas atas, klas elit. klas borju.
Social standing
Gaya hidup eksklusif ini dicitrakan sebagai social standing kesuksesan. Remaja kita dibius dengan konsumerisme gaya hidup konsumtif.Mengkonsumsi sesuatu bukan karena kegunaan, tetapi sekedar tampil” seperti, seakan akan “sudah menjadi orang sukses”. Berpakaian serba brended, Gadget seri mutahir dan assesoris mahal.
Bahasa politiknya adalah kita sedang dibius oleh wacana budaya hegemonik oleh klas yang berkuasa atas estetika kebudayaan.Ngopi adalah kebudayaan, ada muatan ideologisnya didalamnya. Ngopi tidak sekedar menjadikan kita addicted atas cafein, tapi ketagihan gaya hidup konsumtif.
Cultural brandingRasa hidup penuh gengsi itu “diciptakan” melalui faktor determinan secara social historis. Budaya minum kopi waralaba asing ternyata menyembunyikan jebakan Batman dalam pola konsumsi masyarakat. Tulang punggung dari kapitalisme duri lunak adalah advertensi. Melalui iklan dilakukan perubahan pola pikir, pola tindak, kebiasaan, persepsi lewat praktek budaya populer. Para ahli pemasaran menyebut sebagai cultural branding.
Early warning
Kita tidak menolak kehadiran cafe lokal, nasional dan internasional. Hanya mengingatkan bahwa pola konsumsi disesuaikan dengan kemampuan finansial dan budaya serta kebutuhan. Bila mungkin generasi muda mampu memahami jebakan kapitalisme duri lunak dalam segala asfek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebab ideologi Pancasila punya estetika dan etika budaya tersendiri. Seperti apa strategi kebudayaan yang akan diprogramkan oleh Presiden Prabowo kita tunggu implementasinya. Kebudayaan tidak hanya Pesta Kesenian,tari tarian, pameran lukisan, berbusana, berkesenian, tapi kuliner ngopi juga kebudayaan yang membawa misi dan visi politik ideologis.
Denpasar September 2024.
• Penulis adalah pelaku UMKM.
Be the first to comment