Dian Dewi Reich dan Tantangan Profesi Kurator Seni di Bali

Salah-satu pameran seni yang dikurasi Dian Dewi - IST
Salah-satu pameran seni yang dikurasi Dian Dewi - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Dian Dewi Reich. Adalah seorang seniman, penulis, sekaligus kurator independen yang telah membenamkan dirinya dalam denyut nadi seni Bali sejak tahun 2002.

Tantangan terbesar yang ia hadapi dalam praktik kurasidi Bali adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya proses.

Seringkali, fokus utama tertuju pada hasil akhir—sebuah karya, pameran, atau penjualan—tanpa memberikan apresiasi yang layak pada proses kreatif di baliknya.

“Padahal seni itu hidup dalam proses,” kata Dian. Ia menekankan bahwa makna sebuah karya tidak bisa diukur hanya dari bentuk visualnya.

“Kurasi yang baik justru membantu mengungkap lapisan-lapisan makna itu, dan memberi ruang bagi audiens untuk ikut merasakannya,” imbuhnya.

Hal ini menggarisbawahi bahwa sebuah karya adalah sebuah perjalanan transformatif, bukan sekadar produk statis yang siap dikonsumsi.

Secara pribadi, Dian menganggap seni sebagai sebuah “jembatan”. Baginya, seni memiliki kekuatan untuk melampaui bahasa dan budaya, karena energi kreatif itu universal.

Melalui seni, ia percaya, kita bisa menyambungkan hal-hal yang biasanya terpisah oleh sekat pikiran, budaya, bahkan kelas sosial.

Dian Dewi bersama seniman Bali - IST
Dian Dewi bersama seniman Bali – IST

Seni, dalam esensinya, adalah bahasa universal yang dapat dirasakan oleh siapa saja, tanpa perlu pemahaman teori atau istilah teknis yang rumit.

“Seni bisa menyembuhkan, memberi harapan, dan menumbuhkan empati,” kata Dian, menunjukkan dimensi spiritual dan sosial dari seni.

Pernyataan Dian yang paling menarik adalah ketika ia ditanya apakah seni harus selalu tampil sempurna. Dengan tegas ia menjawab, “Tidak. Seniman harus diberi ruang untuk gagal.”

Ia berargumen bahwa jika ruang hanya diberikan pada karya yang sempurna atau yang sesuai dengan selera pasar, maka kreativitas akan terbunuh.

Kurator, dalam pandangannya, memiliki tanggung jawab untuk memberi ruang eksperimental, membiarkan proses berjalan meski belum tentu hasilnya ‘ideal’.”

“Kita sering lupa, kegagalan adalah bagian penting dari pencapaian artistik. Kita belajar dari proses yang tidak sempurna itu,” ucap Dian mengingatkan.  Ini adalah seruan untuk merangkul eksperimen dan ketidaksempurnaan sebagai bagian tak terpisahkan dari evolusi artistik.

Peran Ideal Kurator

Dalam pengalamannya, Dian percaya bahwa kurator tidak hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan galeri atau penyelenggara pameran. Lebih dari itu, kurator adalah “jembatan antara seniman, karya, dan audiens.

” Mereka harus mampu memahami konteks sosial, budaya, bahkan psikologis yang melingkupi sebuah karya. Dian berbagi pengalamannya di beberapa proyek di mana ia sengaja tidak mengikuti pakem kurasi formal.

“Saya beri ruang eksperimen, bahkan kadang seperti ‘melempar dadu’—karena kadang justru dalam ketidakterdugaan itu muncul sesuatu yang jujur dan menyentuh,” katanya.

Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas dan keberanian untuk membiarkan seni menemukan jalannya sendiri, tanpa terlalu banyak batasan.

Melihat posisi seni Bali saat ini, Dian Dewi Rich menyatakan keprihatinannya.

Meskipun Bali kaya akan warisan budaya yang luar biasa, masyarakatnya seringkali “menyepelekan kekayaan itu” karena sudah terbiasa hidup di dalamnya. Ia mengamati banyak orang sekarang lebih melihat budaya sebagai komoditas, bukan warisan yang harus dirawat.

Ia memperingatkan bahwa ketika budaya dikomersialkan tanpa kesadaran akan nilai luhurnya, kita akan kehilangan ruhnya.

Padahal, banyak wisatawan datang ke Bali bukan hanya karena keindahan alamnya, melainkan karena “kebudayaannya yang hidup.”

Untuk masa depan kurasi di Indonesia, Dian berharap akan ada peningkatan kesadaran tentang pentingnya kurasi yang reflektif, yang kaya akan konteks dan narasi.

Ia memandang kurasi sebagai alat yang ampuh untuk memahami jati diri budaya kita, menyuarakan isu-isu penting, dan memperkuat masyarakat melalui seni.

Bagi Dian, seni bukan hanya tentang keindahan visual, melainkan juga cermin kondisi sosial. Ia percaya bahwa kalau seni kita sehat, kemungkinan besar masyarakat kita juga sedang menuju ke arah yang sehat.

Dari perbincangan mendalam dengan Dian Dewi Rich, satu benang merah yang sangat terasa adalah keyakinannya yang teguh bahwa seni bukanlah milik segelintir orang, melainkan milik semua orang.

Ia memiliki keyakinan kuat bahwa seni yang jujur, yang lahir dari sebuah proses otentik dan bukan sekadar mengejar hasil akhir, akan selalu menemukan tempatnya di hati publik.

Lebih jauh lagi, tugas seorang kurator, menurutnya, melampaui sekadar memilih dan memajang karya.

Ini adalah tentang menciptakan dan menumbuhkan ruang di mana makna dapat bertumbuh dan berkembang—makna bagi seniman yang menciptakan, dan makna bagi masyarakat yang mengapresiasi.

Semoga pemahaman akan pentingnya kurasi yang berdaya dan mendalam ini terus tumbuh di seluruh penjuru Indonesia, khususnya di Bali, membuka jalan bagi evolusi seni yang lebih kaya dan bermakna. (KanalBali/Angga Wijaya)

 

Apa Komentar Anda?