
BADUNG, kanalbali.id – Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyebutkan, pihaknya melalui Dinas ESDM Jawa Tengah, gencar mendorong upaya transisi energi di daerahnya.
Instrumen kebijakan transisi energi seperti surat edaran gubernur, surat sekretaris daerah, serta ragam inisiatif seperti deklarasi Jawa Tengah menjadi provinsi surya pada 2019, menjadi cara untuk menarik swasta dan masyarakat memanfaatkan energi terbarukan melalui adopsi PLTS atap.
BACA JUGA: Kominfo Akan Hentikan Siaran TV Analog Paling Lambat 2 November 2022
Hingga Q2 2022, jumlah kapasitas PLTS terpasang di Provinsi Jawa Tengah mencapai 22 MWp. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga mendukung pemanfaatan energi terbarukan lainnya yang tersedia melimpah, misalnya biogas kotoran ternak dan PLTMH, dengan program pemerintah atau pun mendorong kolaborasi masyarakat.
“Perlu kita kembangkan Asimetris desentralisasi sehingga perlakuannya tidak sama di setiap lokasi. Dengan kesadaran kolektif, potensi energi terbarukan di daerah dicek dan distimulasi,” kata Ganjar, Selasa (30/8) di kegiatan pararel serangkaian agenda “G20 Side Events dan Energy Transition Working Group” (ETWG) di Nusa Dua, Selasa (30/8).
Hal ini, menurut Ganjar, akan mendorong transformasi yang lebih cepat dan sebagai bentuk komitmen iklim di Jawa Tengah ditunjukkan pula dengan dimulainya penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas pemerintah provinsi.
Togap Simangunsong, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Dalam Negeri mengapresiasi praktik baik yang dilakukan pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
BACA JUGA:
Penjabat Bupati: Buleleng Harus Jadi Barometer Bagi Daerah Lain di Bali
Perpres Penguatan Energi Terbarukan
Ia menyebutkan pihaknya dan Kementerian ESDM sedang menyusun rancangan Perpres yang menguatkan wewenang pemerintah daerah/provinsi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang energi sumber daya mineral sub bidang energi baru terbarukan
“Melalui penguatan ini diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan dalam upaya pencapaian target bauran energi baru terbarukan sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca sehingga terjalin komitmen pemerintah daerah dalam upaya akselerasi energi berkeadilan sesuai dengan kewenangannya,” ungkap Togap.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IES menegaskan, inisiatif dan kepemimpinan pemerintah daerah akan mampu menjawab permasalahan akses dan keamanan pasokan energi dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang melimpah di daerahnya.
“Transisi energi Indonesia membutuhkan pembangunan ratusan bahkan ribuan gigawatt, pembangkit energi terbarukan, infrastruktur transmisi dan distribusi serta sistem penyimpanan energi. Tapi dengan mulai membaginya menjadi unit-unit kecil, persoalan yang besar tadi dapat lebih mudah dipecahkan dan dilakukan oleh lebih banyak pihak,” ungkap Fabby.
Menurutnya, berdasarkan kajian IESR, dekarbonisasi sistem energi di Indonesia membutuhkan biaya USD 1,3 triliun hingga 2050 mendatang, dengan rata-rata kebutuhan investasi USD 30-50 miliar per tahun. Jumlah ini 150%-200% dari total investasi seluruh sektor energi saat ini.
“Kebutuhan investasi ini tidak sedikit dan tidak mungkin hanya ditanggung oleh pemerintah dan BUMN semata. Tapi investasi yang besar ini dapat dipenuhi jika kita memperhitungkan potensi dari kontribusi dan daya inovasi masyarakat serta kemampuan pemerintah daerah. Kontribusi dan inovasi warga dapat memobilisasi pendanaan dari pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa, serta pendanaan dari swasta dan lembaga-lembaga non-pemerintah,” tambahnya. (kanalbali/RLS)
Be the first to comment