 
Di balik jas putih dan ruang praktik yang steril, ada sosok psikiater yang memilih duduk di kedai kopi, membaca filsafat, dan menulis tentang luka-luka jiwa dan upaya mengapus stigma yang kerap tak terlihat. Namanya dr. I Putu Dharma Krisna Aji, Sp.KJ.
Penulis: Angga Wijaya
Dia seorang dokter spesialis kesehatan jiwa yang tak biasa. Lahir dan besar di Yogyakarta, dr. Krisna Aji menapaki dunia medis lewat jalur disiplin, lulus dari SMA Taruna Nusantara tahun 2006, lalu menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, hingga menyelesaikan pendidikan spesialis psikiatri di kampus yang sama.
Tapi sejak dini ia menyadari bahwa dirinya berbeda. “Saya suka berpikir aneh,” ujarnya sambil tersenyum dalam obrolan santai di sebuah kedai kopi di Panjer, Denpasar Selatan, Jumat (4/7/2025).
Baginya, psikiatri tak bisa dilepaskan dari filsafat. “Setengahnya soal otak dan tubuh, setengahnya lagi soal bagaimana kita memaknai manusia,” katanya.
Itulah yang kemudian membentuk pendekatan uniknya, yakni menggabungkan ilmu kedokteran dengan perenungan eksistensial.
Kehausan intelektual itu ia salurkan lewat dunia tulis-menulis. Sejauh ini, empat buku sudah ia hasilkan.
Buku pertamanya Mindfulness; Therapy untuk Terapis ditulis dari tesisnya, ditujukan agar para terapis juga belajar memahami diri mereka sendiri. Buku kedua membahas psikoterapi suportif dalam bahasa populer agar lebih mudah dipahami masyarakat awam.
Buku ketiganya, Mencari Manusia dan Jiwa, menghimpun tulisan-tulisan reflektif dari media daring Gema Bali. Sementara buku terbarunya, berjudul Kapan Jiwa Ini Akan Sembuh?, sebuah karya yang menggugat persepsi umum soal kesembuhan.
“Apakah benar kita bisa betul-betul sembuh?” tanyanya. Menurutnya, luka batin, kecemasan, dan trauma bukanlah sesuatu yang bisa ‘diobati’ lalu selesai. “Kadang, kesembuhan justru terletak pada keberanian untuk terus bertanya, bukan pada jawaban,” ucapnya pelan.
Buku tersebut tidak bicara soal gangguan jiwa berat seperti psikotik, melainkan tentang keresahan-keresahan yang sangat umum yaitu kecemasan, overthinking, luka masa kecil, bahkan ketakutan akan kematian. Semua disampaikan dalam bahasa reflektif, penuh empati, dan tanpa menggurui.
“Saya ingin menulis bukan untuk memberi jawaban, tapi membuka ruang bertanya,” jelasnya. Salah satu pertanyaan dalam bukunya yang menggugah adalah: Kalau kamu terus tumbuh, berarti kamu terus berubah. Kalau terus berubah, apakah kamu pernah benar-benar sembuh?
Menulis, baginya, adalah cara untuk ‘mendaur ulang’ sampah batin. Setiap hari, ia menerima curahan hati dan luka pasien. Alih-alih memendam, ia memilih menyalurkannya lewat tulisan.
Ditulis tentu setelah melalui proses sublimasi dan adaptasi, tanpa mengekspos pasien secara langsung. “Kalau tidak dituliskan, bisa jadi menumpuk di dalam diri,” ujar psikiater di RS Bali Jimbaran, Badung, Bali, ini.
Dr. Krisna juga prihatin dengan masih kuatnya stigma terhadap gangguan jiwa, bahkan di kalangan tenaga medis sendiri. “Saya pernah melihat sesama dokter yang meremehkan pasien gangguan jiwa. Itu menyakitkan,” kenangnya.
Namun ia optimistis. Menurutnya, generasi muda—terutama Gen-Z—mulai lebih terbuka membicarakan kesehatan mental. Tapi di sisi lain, banyak anak muda yang menjalani terapi diam-diam karena orang tua mereka menolak ikut serta. “Padahal sering kali akar masalahnya justru di pola asuh,” katanya.
Tulisan-tulisan dr. Krisna bukan untuk menyalahkan siapa pun. Ia lebih memilih pendekatan reflektif. Ia tahu, pertanyaan seperti apakah trauma orang tua bisa diwariskan? atau apakah orang tua selalu tahu yang terbaik untuk anak? bisa terasa menyentil. Tapi ia percaya, kejujuran adalah awal dari pemulihan.
Sebagai psikiater, penulis, dan pengamat dinamika batin manusia, dr. Krisna tidak menulis dari menara gading. Ia menulis dari tempat yang sangat manusiawi—dari ruang tunggu, dari percakapan di kafe, dari ruang konsultasi, bahkan dari dirinya sendiri.
“Jiwa manusia itu dinamis, dan karena itulah ia indah,” tutupnya.
Dan barangkali, lewat buku Kapan Jiwa Ini Akan Sembuh?, kita diajak bukan untuk menyelesaikan luka, tapi untuk berdamai dengannya. Perlahan, jujur, dan penuh kasih. ( kanalbali/ AGW )



 
		 
		