Made Kaek Bangkit dari Sakit Parah dengan Terapi Sketsa

DENPASAR, kanalbali.id –  Bagi sebagian orang, sakit adalah masa istirahat total.  Namun bagi I Made Kaek, seorang seniman lukis asal Bali, sakit justru menjadi ruang sunyi yang penuh penciptaan.

Di atas ranjang rumah sakit, di tengah pengobatan gangguan paru-paru yang dideritanya, Kaek tidak membiarkan waktu berlalu tanpa makna.

Ia justru menggambar—menyelesaikan dua buku sketsa yang kemudian ia sebut sebagai bagian dari proses healing.

“Saya tidak melihat sakit sebagai musibah. Itu bagian dari hidup. Justru saya syukuri karena itu memberi ruang kontemplasi,” ujarnya saat ditemui di Denpasar, Kamis (12/6/2025).

Dalam sepuluh hari masa perawatan di sebuah rumah sakit di Gianyar, Bali, Kaek mengisi waktu luangnya dengan membuat sketsa—aktivitas yang ia lakukan dengan tenang, sepenuh hati, dan penuh kesadaran.

“Menggambar itu terapi. Bukan hanya menenangkan pikiran, tapi juga memberi arah baru dalam berpikir. Saya merasa lebih kuat setelah menggambar,” katanya.

Kecintaan Kaek terhadap seni rupa bukan hal baru. Ia sudah terbiasa melihat dan merasakan keindahan sejak kecil, tumbuh dalam lingkungan budaya Bali yang kaya akan simbol, warna, dan ritual. Namun perjalanan seriusnya sebagai pelukis justru dimulai saat ia kuliah hukum di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

“Saya kuliah di hukum, tapi hati saya ada di seni. Setiap selesai kelas, saya langsung berkumpul dengan teman-teman dari komunitas seni,” kenangnya sambil tersenyum.

Di Yogyakarta, ia bergabung dengan Sanggar Dewata Indonesia (SDI), salah satu kelompok seni paling berpengaruh yang mewadahi seniman-seniman Bali yang sedang belajar di luar pulau. Melalui SDI, Kaek mulai intens berkarya, berdiskusi, dan berpameran. Ia menyerap semangat komunitas, belajar tentang teknik, filosofi, dan juga pentingnya ideologi dalam berkesenian.

“Di SDI saya bertemu banyak tokoh. Saya juga banyak belajar dari mentor-mentor seperti Nyoman Gunarsa dan Made Wianta. Itu membentuk saya sebagai seniman,” ujarnya.

Pulang ke Bali dan Memilih Jalan Sunyi

Setelah menyelesaikan kuliah, Kaek memilih kembali ke Bali. Keputusannya mengejutkan banyak teman, mengingat ia punya pilihan untuk berkarier di bidang hukum. Namun bagi Kaek, seni bukan sekadar pilihan profesi—melainkan panggilan hidup.

“Di Bali, saya merasakan tanah ini memanggil saya. Ada spiritualitas yang dalam. Kesenian di sini bukan pertunjukan, tapi kehidupan itu sendiri,” katanya.

Ia mulai aktif berkarya di rumahnya sendiri, membangun jaringan, dan ikut dalam banyak pameran lokal, nasional, bahkan internasional. Karya-karyanya dikenal ekspresif, puitis, dan sarat simbol spiritual serta sosial. Banyak pula yang menyentuh isu kontemporer namun tetap dibalut dengan pendekatan khas Bali, yakni simbolik dan kontemplatif.

Rumah Sakit, Sketsa, dan Kesadaran Baru

Meski telah mapan dalam dunia seni, hidup tetap menyajikan tantangan. Baru-baru ini, Kaek didiagnosis mengalami gangguan paru-paru yang cukup serius. Ia harus dirawat dan menjalani terapi medis. Namun yang menarik, alih-alih larut dalam kesedihan, ia justru menemukan kekuatan baru dalam ruang penyembuhan itu.

“Awalnya saya berpikir saya akan bosan. Tapi saya bawa buku sketsa, pensil, dan mulai menggambar. Ternyata itu mengalir begitu saja,” tuturnya.

Ia mengaku bahwa aktivitas menggambar dalam kondisi sakit justru membuka ruang batin yang selama ini jarang dijamah. Sketsa-sketsa yang lahir dari pengalaman itu tidak sekadar gambar, melainkan cermin dari kondisi jiwa yang tengah berjuang namun tetap kreatif.

Salah-satu sketsa karya Made Kaek - IST
Salah-satu sketsa karya Made Kaek – IST

“Saya merasa diselamatkan oleh sketsa. Itu menjaga kewarasan saya. Mungkin nanti akan saya pamerkan atau bukukan, karena setiap sketsa punya cerita,” tambahnya.

Bagi Kaek, menggambar bukan hanya proses kreatif, tetapi juga spiritual. Ia percaya bahwa kegiatan itu bisa menjadi metode penyembuhan yang juga bisa diterapkan pada orang lain—bahkan mereka yang bukan seniman sekalipun.

“Saya kira semua orang bisa mendapatkan manfaat dari menggambar atau menulis saat sedang sakit. Itu bentuk terapi yang sangat personal. Di luar negeri, hal seperti ini sudah umum, tapi di Indonesia masih jarang,” ujarnya.

Ia berharap pengalaman ini bisa menginspirasi banyak orang, termasuk para tenaga medis, untuk mulai melihat seni sebagai bagian dari proses pemulihan. “Saya membayangkan ada ruang seni di rumah sakit. Tempat orang bisa menggambar, menulis, atau bahkan hanya memandangi warna,” kata Kaek.

Kini, setelah pulih, Kaek kembali aktif melukis dan berkegiatan seni. Namun pengalaman di rumah sakit meninggalkan jejak yang dalam. Ia menjadi lebih sadar akan waktu, proses, dan pentingnya memaknai setiap detik yang dijalani.

“Setiap hari adalah kesempatan. Saya selalu berusaha mengerjakan yang terbaik hari ini, karena esok belum tentu datang,” pungkasnya.

Bagi I Made Kaek, hidup dan seni adalah dua sisi dari napas yang sama. Dan dari ranjang rumah sakit itulah ia membuktikan, bahwa sketsa sederhana pun bisa menjadi jembatan menuju penyembuhan dan kedalaman jiwa. (KanalBali/Angga Wijaya)

 

Apa Komentar Anda?