Meretas Jalan Tengah untuk Kesinambungan BPJS Kesehatan

Catatan 10 Tahun Perjalanan BPJS Kesehatan

ilustrasi - kartu BPJS Kesehatan
ilustrasi - kartu BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan telah sepuluh berdiri ditandai lahirnya  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  atau BPJS Kesehatan dan dua dekade sejak lahirnya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun, cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui akses kesehatan yang adil dan merata masih jauh panggang dari api.

Oleh :  oleh: dr. Cahyadi Surya, MPH

Salah satu persoalan paling mendesak adalah defisit BPJS Kesehatan yang terus membengkak. Defisit disebabkan oleh pengeluaran berupa klaim yang dibayarkan terus meningkat tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan.

Sampai akhir tahun nanti diproyeksikan beban yang ditanggung oleh BPJS akan mencapai 20 trilliun, jumlah defisit tahun ini akan menggerus asset netto BPJS yang pada akhir 2023 berjumlah sekitar 56,66 triliun rupiah, menjadi 36,66 triliun rupiah.

Jika skenario ini berlangsung, dengan asumsi terjadi peningkatan defisit hingga 5 triliun tiap tahunnya, ini akan menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan program di tahun 2026.

Berbagai faktor menjadi penyebab, mulai dari inflasi biaya kesehatan yang tak terkendali, peningkatan pemanfaatan layanan, hingga ketidakefisienan dalam sistem rujukan.

Jika dibiarkan tanpa langkah mitigasi, defisit ini tidak hanya akan berdampak pada penurunan kualitas layanan, tetapi juga menyebabkan penunggakan pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

Jumlah peserta BPJS yang hampir mencapai 98% dari total penduduk Indonesia, sekitar 277 juta penduduk, memang patut diapresiasi.

Namun, di balik angka tersebut tersembunyi persoalan serius: sekitar 20% peserta atau setara dengan lebih dari 50 juta jiwa tercatat tidak aktif. Banyak peserta mandiri menunggak iuran karena kurangnya kesadaran akan manfaat BPJS, kesulitan akses layanan, serta kurangnya sosialisasi yang efektif.

Peningkatan pemanfaatan layanan memang menunjukkan adanya kepercayaan masyarakat yang meningkat.

Namun tahun lalu pengeluaran ini masih didominasi oleh pembiayaan delapan penyakit katastropik berupa jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, leukemia, thalassemia, hemofilia, dan sirosis hati, dengan jumlah klaim hingga mencapai 347 triliun.

Selain itu, iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)—kelompok yang disubsidi pemerintah— yang saat ini peserta PBI mencapai 97 juta jiwa tak kunjung naik dan belum maksimalnya keikutsertaan pekerja formal dalam hal ini Pekerja Penerima Upah (PPU) ikut menjadi kontributor defisit.

Padahal, partisipasi aktif pemerintah pusat dan daerah dengan cara mengiur PBI dan iuran pekerja formal dari sektor swasta sangat diperlukan untuk menopang keberlanjutan BPJS.

Jalan Tengah untuk Menjaga “Nafas” BPJS  

Untuk mencapai keberlanjutan, konsep iuran progresif dapat menjadi solusi yang lebih adil. Dengan skema ini, masyarakat berpenghasilan tinggi membayar iuran yang lebih besar, sehingga subsidi bagi kelompok kurang mampu dapat lebih optimal.

Kebijakan ini memungkinkan distribusi beban ekonomi yang lebih merata, sekaligus memastikan bahwa mereka yang paling membutuhkan mendapatkan manfaat maksimal dari program JKN.

Selain kenaikan iuran, diversifikasi sumber pendanaan juga perlu menjadi prioritas. Misalnya, alokasi dana dari cukai rokok dan produk tidak sehat seperti minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Dana yang terkumpul dari cukai ini dapat digunakan untuk membiayai program pencegahan penyakit tidak menular, seperti stroke, diabetes dan hipertensi, yang sebagian besar terkait dengan konsumsi produk tersebut.

Untuk mengatasi masalah peserta yang menunggak iuran, skema pembayaran yang lebih fleksibel perlu disiapkan. Contohnya, memberikan opsi cicilan untuk meringankan beban peserta.

Dengan skema ini, peserta yang sebelumnya tidak aktif dapat kembali berkontribusi, sehingga mengurangi jumlah tunggakan secara keseluruhan.

Meningkatkan kerjasama dengan skenario coordination of benefit (COB) antara BPJS dengan asuransi swasta, akan merangsang keikutsertaan para pekerja formal yang banyak menggunakan asuransi swasta juga menggunakan BPJS. Kenaikan upah minimum yang dilakukan olh pemerintah, juga dapat menjadi momen yang tepat.

Karena peningkatan ini juga akan berimbas pada meningkatnya jumlah iuran ke BPJS dari PPU.

Di era digital, teknologi informasi menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan BPJS Kesehatan. Integrasi data dari berbagai sumber, termasuk Kementerian Kesehatan, Dinas Kependudukan, dan fasilitas kesehatan, dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang profil peserta dan pola layanan kesehatan.

Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dapat membantu mendeteksi potensi fraud dalam klaim layanan. Teknologi ini juga mampu mengoptimalkan alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan aktual, memberikan peringatan dini terhadap lonjakan biaya, dan bahkan mendukung personalisasi layanan kesehatan yang lebih responsif.

Indonesia tidak perlu memulai dari nol dalam mencari solusi untuk masalah yang dihadapi BPJS. Banyak negara lain telah berhasil mengatasi tantangan serupa dalam implementasi jaminan kesehatan universal.

Misalnya, Jepang menggunakan pendekatan kombinasi antara premi berbasis pendapatan dan subsidi pemerintah untuk menjaga keberlanjutan sistemnya. Sementara itu, sistem kesehatan di Jerman menunjukkan keberhasilan melalui kolaborasi yang kuat antara pemerintah dan penyedia layanan kesehatan swasta.

Momentum Health Economy Congress 2025 yang akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, menjadi ajang yang tepat untuk belajar dari praktik terbaik global.

Forum ini dapat menjadi ruang untuk berbagi pengalaman, menggali inovasi pembiayaan, serta memperkuat komitmen nasional dan internasional dalam memperjuangkan sistem kesehatan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Sepuluh tahun perjalanan BPJS Kesehatan adalah bukti keberanian Indonesia dalam merintis jaminan kesehatan universal.

Namun, perjalanan ini baru awal dari tantangan panjang menuju sistem kesehatan yang benar-benar berkeadilan dan berkelanjutan. Kunci keberhasilan di masa depan terletak pada keberanian untuk berinovasi, kolaborasi antar-pihak, serta komitmen yang tidak goyah dalam memperjuangkan kesehatan sebagai hak dasar setiap warga negara.

Dengan reformasi yang tepat dan pembelajaran dari pengalaman global, BPJS Kesehatan dapat menjadi model yang tidak hanya berhasil di tingkat nasional, tetapi juga menginspirasi dunia.

momentum ini harus dimanfaatkan untuk membuka jalan menuju sistem kesehatan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan inklusif. Selamat Hari Kesehatan Dunia.

( KANALBALI/ist)

 

Apa Komentar Anda?