Paradoks Seribu Bunga: Ketika Keindahan Menjulur dan Kehampaan Mengakar

Nyoman Sudiarna bersama salah-satu karyanya - AWJ
Nyoman Sudiarna bersama salah-satu karyanya - AWJ

DENPASAR,  Kanalbali.id – Di mandala utama Nata-Citta Art Space, Denpasar, cahaya lampu pameran menimpa permukaan kayu yang halus. Sebuah patung berdiri tegak, memancarkan aura ganjil sekaligus memikat. Paradoks Seribu Bunga, demikian judul karya itu, karya Dr. I Nyoman Suardina, S.Sn., M.Sn., dosen sekaligus seniman patung dari Institut Seni Indonesia (ISI) Bali.

Dari kejauhan, ia tampak seperti kepala manusia berukuran besar, namun dihiasi topeng badut lebah madu. Rambutnya menjulang, dihiasi bunga-bunga artifisial berwarna kusam, kontras dengan ekspresi yang beku. Dari dekat, detailnya lebih mengejutkan; kayu dipahat rapi, bentuknya kokoh, tapi mahkotanya rapuh, hanya bunga plastis yang terpahat berjajar, dan takkan pernah layu.

“Bagi saya, seni adalah cara membaca ulang kehidupan,” kata Suardina, ditemui di sela pameran Bhuwana Rupa, yang digelar untuk menyambut 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, Kamis (7/8/2025).

“Apa yang ditulis Pramoedya tentang manusia dan kebebasannya, itu bisa diterjemahkan ke dalam bentuk visual yang memicu perenungan,” imbuhnya.

Akademisi yang Menyemai Gagasan

Nama Suardina di dunia akademik tak kalah menonjol dari reputasinya sebagai pematung. Di kampus ISI Bali, ia mengajar di berberapa program studi, Desain dan Seni. Mahasiswa mengenalnya sebagai pengajar yang tekun mengaitkan teori, kritik, dan teknik ke dalam satu kesatuan.

Sejak 2017, ia menjabat sebagai Editor-in-Chief Jurnal Viswa Design di ISI Bali, media ilmiah yang mengangkat diskursus desain visual dengan pendekatan budaya. Lewat jurnal ini, ia mendorong desain untuk tidak berhenti pada keindahan semata, tapi menjadi alat untuk menjawab tantangan sosial dan lingkungan.

“Desain bukan cuma soal estetik. Ia harus menjawab kebutuhan, memecahkan masalah, dan tetap berpijak pada nilai-nilai budaya,” ujarnya serius.

Prinsip itu yang mendorongnya ikut mengusulkan Program Studi Desain Produk di ISI Bali, agar mahasiswa belajar membuat karya yang berpijak pada akar budaya lokal, bukan hanya mengejar tren pasar.

Karya  Nyoman Sudiarna bertajuk "Peace Missile" - AWJ
Karya Nyoman Sudiarna bertajuk “Peace Missile” – AWJ

Dari “Peace Misille” ke “Sisi Gelap”

Sebelum Paradoks Seribu Bunga, Suardina telah melahirkan karya-karya yang menyentil dengan metafora visual. “Peace Missile” adalah rudal yang dilapisi simbol perdamaian, seolah menertawakan paradoks dunia modern yang mengklaim damai sambil terus berperang.

Kemudian “Sisi Gelap” menampilkan figur lebah, sebagai simbol kerja keras yang kehilangan arah dan menjadi ancaman bagi sekitarnya. Kedua karya itu menjadi pijakan ide bagi Paradoks Seribu Bunga, yang lebih subtil namun tak kalah menggelitik.

Di karya terbarunya ini, paradoks disajikan dengan kelembutan bunga, tapi menyembunyikan kehampaan. Patung kayu setinggi 246 cm ini memadukan kekokohan kepala manusia dengan rambut yang penuh bunga artifisial yang cantik, tapi tak hidup.

“Saya selalu tertarik pada simbol. Kadang bentuk yang lucu atau indah justru menyimpan pesan yang tidak nyaman untuk didengar,” jelas Suardina.

Bagi Suardina, bunga artifisial di kepala patung bukan sekadar dekorasi, tapi kritik pada manusia modern yang mengedepankan citra luar, estetika instan, dan pencitraan namun mengabaikan kedalaman, keutuhan, dan kemanusiaan hakiki. Frame yang menjulur meruncing ke atas dalam karyanya adalah simbol ambisi yang terus tumbuh, namun sering kali dibangun di atas kerusakan atau kekosongan.

“Manusia modern mengejar pertumbuhan dan kemajuan, tapi sering mengorbankan keutuhan diri dan lingkungan,” tambahnya.

Pameran Bhuwana Rupa mengajak 18 perupa untuk menafsirkan karya Pramoedya dalam bentuk visual. Suardina melihat Pramoedya sebagai penulis yang berani menelanjangi kontradiksi manusia.

“Seni rupa bisa menjadi jembatan antara teks dan kontek. Dari tulisan, kita pindahkan gagasannya ke ruang visual, supaya bisa dibaca dengan mata dan rasa,” ujar Suardina.

Dalam konteks Paradoks Seribu Bunga, tafsir itu terasa jelas, seperti tokoh-tokoh dalam novel Pramoedya yang kerap berlapis, patung ini juga berlapis makna. Ada keindahan di permukaan, tapi di baliknya tersimpan ironi dan luka.

Mengajar, Berkarya, dan Merawat Kritik

Di tengah aktivitas akademiknya, Suardina tidak pernah meninggalkan studio. Baginya, mengajar dan berkarya saling mengisi. Di ruang kelas, ia menanamkan pentingnya observasi kritis pada mahasiswa; di studio, ia membuktikan teori itu lewat karya.

Ia kerap mengajak mahasiswa untuk tidak hanya mempelajari teknik, tetapi juga memahami konteks sosial, politik, dan budaya yang melatarbelakangi karya. “Kalau hanya menguasai teknik tanpa memahami konteks, hasilnya cuma akan jadi ornamen,” tegasnya.

Selain di Bali, karya-karya Suardina telah dipamerkan di berbagai kota di Indonesia. Ia juga aktif dalam kegiatan seni rupa kontemporer yang melibatkan kolaborasi lintas disiplin.

Keikutsertaannya di Bhuwana Rupa menjadi penegasan bahwa ia bukan hanya pengajar yang mengulas karya orang lain, tapi juga pelaku yang terlibat langsung di kancah seni. Di pameran ini, ia berdiri sejajar dengan seniman lain, membawa suaranya sendiri tentang zaman yang ia hidupi.

Saat pameran hampir usai, pengunjung masih mengerubungi Paradoks Seribu Bunga. Ada yang memotret detail ukirannya, ada yang berdiskusi kecil, ada pula yang hanya diam menatapnya lama.

Karya itu seperti menyimpan gema yang pelan tapi dalam. Sebuah pengingat bahwa tidak semua yang tampak indah menyimpan kehidupan, dan tidak semua yang keras berarti kuat.

Di antara riuhnya dunia modern yang dipenuhi pencitraan, patung itu berdiri sebagai kritik yang anggun. Ia menyampaikan pesan Pramoedya dengan bahasa kayu dan bunga plastik, bahwa keindahan bisa menipu, dan manusia harus berani menatap paradoks yang ada dalam dirinya sendiri. ( kanalbali/Angga Wijaya)

 

Apa Komentar Anda?