
DENPASAR, kanalbali.id – Pendaki Brasil, bernama Juliana Marins ditemukan tewas di Gunung Rinjani Lombok, NTB. Penyebab kematiannya dipastikan bukan karena hipotermia.
“Sebenarnya untuk memastikan hipotermia itu harus diperiksa di cairan bola matanya. Namun, karena jenazah sudah cukup lama tidak dilakukan pemeriksaan hipotermia,” kataDokter Spesialis Forensik Rumah Sakit Bali Mandara, dr Ida Bagus Putu Alit.
“Kalau dilihat dari luka-luka yang ada dan pendarahan yang banyak, itu jadi hipotermia bisa kita singkirkan. Jadi penyebabnya adalah karena kekerasan tumpul,” kata dia.
Sementara, untuk tewasnya seseorang karena hipotermia itu perlu waktu yang lama untuk orang itu meninggal dunia. Karena, di dalam suhu tubuh orang itu ada termoregulator yang mengatur suhu tubuh.
Emas, Pilihan Investasi Aman Saat Pandemi
“Jadi kalau seandainya suhunya dingin, tubuh itu mengaturnya. Jadi untuk hipotermia itu dalam relatif yang lama,” imbuhnya.
Relatif lama itu juga tergantung suhu tubuh seseorang untuk menahan hipotermia dan dalam pemeriksaan tidak ada tanda-tanda korban tewas juga karena hipotermia.
Tanda-tanda Kematian karena Hipotermia
“Tanda-tanda adanya hipotermia itu luka-luka yang ditimbulkan dari hipotermia tidak ada. Jadi luka-luka yang ditimbulkan oleh hipotermia itu adalah luka pada ujung-ujung jari. Jadi lukanya berwarna hitam, ini tidak ada luka. Berarti bisa kita katakan bahwa tidak ada hipotermia,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, bahwa korban tewas karena kekerasan tumpul dan mengalami luka-luka serta pendarahan yang banyak dan korban bisa bertahan paling lama 20 menit dan meninggal dunia.
“Jadi kalau kita perkirakan paling lama 20 menit, iya paling lama. Yang saya dapatkan adalah fakta maka saya sampaikan di awal bahwa tidak ada bukti yang kita dapatkan bahwa korban ini meninggal dalam waktu yang lama dari lukanya. Seperti yang saya bilang tadi, di otak tidak ada herniasi,” ujarnya.
Kemudian juga dibagian spleen atau limpah itu tidak mengerut dan masih menyimpan darah. Sehingga dapat disimpulkan korban meninggal dunia bukan dengan jangka waktu yang sangat lama, tetapi setelah beberapa menit kejadian korban meninggal dunia.
“Artinya masih menyimpan darah. Kalau seandainya darah itu keluar sedikit-sedikit dia akan dikeluarkan. Sehingga organ itu akan mengerut. Ini tidak dapat ditemukan. Berarti saya simpulkan tidak ditemukan adanya tanda-tanda orang ini meninggal dalam jangka waktu yang lama dari lukanya. Artinya dalam jangka waktu yang dekat orang itu meninggal,” ujarnya.
Pihaknya menegaskan, bahwa korban meninggal dunia itu karena kekerasan tumpul dengan jumlah pendarahan yang sangat banyak.
“Kalau kita lihat penyebabnya yang langsung itu pasti kekerasan. Jadi kita juga melihat adanya pendarahan yang memang jumlahnya sudah begitu besar dalam rongga tubuhnya. Jadi yang menyebabkan langsung itu adalah kekerasannya, jadi benturannya,” ujarnya.
Sementara, pendarahan yang paling banyak di tubuh korban ada di bagian rongga dada dan kekerasan tumpul itu ada dibagian punggung.
“Jadi pendarahan yang paling banyak itu ada di rongga dada. Karena kekerasan itu ada di punggung. (Di otak) tidak banyak kelainan, cuma ada pendarahan sedikit,” ujarnya.
Hasil Otopsi Pendaki Brasil
Sebelumnya, Dokter Spesialis Forensik Rumah Sakit Bali Mandara, dr Ida Bagus Putu Alit menerangkan, soal hasil autopsi meninggalnya pendaki asal Brasil, bernama Juliana Marins.
Hasil dari autopsi memang ditemukan adanya luka-luka pada seluruh tubuh korban.
erutama adalah luka lecet geser yang menandakan bahwa korban itu memang tergeser dengan benda-benda tumpul.
“Kemudian kita juga menemukan adanya patah-patah tulang, terutama di daerah dada, bagian belakang, juga tulang punggung dan paha,” kata Putu Alit, di Rumah Sakit Bali Mandara, Denpasar, pada Jumat (27/6).
Kemudian, dari patah-patah tulang inilah terjadi kerusakan pada organ-organ dalam serta pendarahan pada tubuh korban. Sehingga, pihaknya dapat menyimpulkan bahwa sebab kematian itu adalah karena kekerasan tumpul yang menyebabkan kerusakan organ-organ dalam dan pendarahan.
“Mungkin selanjutnya yang perlu kita jelaskan di sini adalah, kami tidak menemukan adanya bukti-bukti bahwa kematian itu terjadi dalam jangka waktu yang lama dari luka terjadi. Mungkin saya bilang, bahwa kami tidak menemukan bukti-bukti atau tanda-tanda bahwa korban itu meninggal dalam jangka waktu yang lama dari luka-luka,” jelasnya.
“Misalnya dari belakang. Misalnya di kepala itu ada luka tetapi belum menimbulkan adanya herniasi (atau luka serius yang terjadi pada bagian otak). Karena herniasi otak itu terjadi berapa jam sampai berapa hari. Nah itu kita tidak menemukan, berarti tidak ada bukti di kepala,” ungkapnya. (kanalbali/KAD)