
GIANYAR, kanalbali.id- Angka kasus pernikahan dini di Provinsi Bali menjadi perhatian serius anggota Komisi IV DPRD Bali, Putu Diah Pradnya Maharani B.Sc. (Hons).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali mengungkapkan bahwa pernikahan dini di bawah usia 19 tahun mencapai 1.947 kasus pada tahun 2023 dan sedikit menurun menjadi 1.839 kasus pada tahun 2024. “Angkanya menurun tapi tetap memprihatinkan,” sebutnya dalam rilis yang diterima Selasa (4/2/2025).
Dia menilai pernikahan dini bukan solusi mengatasi persoalan ekonomi maupun permasalah sosial. Sebaliknya, dalam banyak kasus, praktik pernikahan dini justru terbukti menjerumuskan remaja dan anak ke dalam masalah yang lebih kompleks hingga akhirnya berujung perceraian.
Fakta di lapangan menunjukkan, meskipun pernikahan anak secara hukum dilarang berdasarkan Undang-Undang No 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia minimal pernikahan adalah 19 tahun, fenomena pernikahan dini masih terus terjadi.
BACA JUGA: Jadi Fotografer Dadakan, Gek Diah Tak Segan Naik Meja Rapat DPD PDIP Bali
Bahkan, data yang diperoleh dari berbagai sumber menunjukkan lonjakan jumlah kasus pernikahan anak dengan dampak yang sangat merugikan bagi kesehatan fisik dan mental anak, serta masa depan mereka.
Data Pengajuan Dispensasi Nikah Pada tahun 2023, terdapat 335 kasus pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama yang meningkat menjadi 368 kasus pada tahun 2024 di Provinsi Bali.
Peningkatan ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya penegakan hukum, banyak pasangan anak yang masih mengajukan dispensasi untuk menikah di bawah usia yang diizinkan.
“Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada angka ini adalah faktor adat dan budaya yang kadang menganggap pernikahan dini sebagai hal yang wajar,” ucapnya Srikandi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Dapil Gianyar ini.
Sosok berprestasi yang menempuh pendidikan pada Program Studi Hubungan Internasional di Singapura ini menekankan meskipun sudah ada regulasi, pada kenyataannya adat dan norma budaya seringkali digunakan untuk membenarkan pernikahan dini.
Oleh karena itu, diperlukan adanya aturan atau pararem yang mengatur hal tersebut.
Pararem ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini yang seolah-olah menjadi tradisi atau budaya.
“Karena desa sebagai unit terkecil dalam pemerintahan memiliki peran yang sangat strategis untuk mengedukasi masyarakat dan melindungi anak-anak dari pernikahan dini yang berisiko tinggi,” tegas Gek Diah sembari menegaskan bahwa sosialisasi masif juga perlu digencarkan sebagai upaya preventif alias pencegahan.
Dia menegaskan, pernikahan dini membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap kesehatan mental dan fisik anak.
Pernikahan dini juga berpotensi mengakibatkan masalah kesehatan seperti bayi lahir dalam kondisi stunting, komplikasi kehamilan, serta kemungkinan tinggi terinfeksi penyakit menular seksual, termasuk HIV.
Dalam banyak kasus, anak-anak yang menikah pada usia muda juga menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan peran sebagai orang tua yang dapat mengarah pada masalah kesehatan mental dan kualitas sumber daya manusia (SDM).
“Saya mendorong dilakukan revisi terhadap Perda Nomor 3 Tahun 2023 dan perlu adanya pararem yang mengatur perlindungan anak di tingkat desa. Perda Nomor 3 Tahun 2023, masih bersifat normatif dan tidak secara spesifik menjaga dan melindungi perempuan dan anak dengan fenomena atau tantangan yang dihadapi saat ini, khususnya terkait pernikahan dini,” ungkapnya. ( kanalbali/ TIM )