 
JAKARTA, kanalbali.id – Kian banyak perusahaan dengan produk lokal di bidang fashion dan kecantikan yang mengusung tema ramah lingkungan.
Berdasarkan data PBB, industri fashion bertanggung jawab atas sekitar delapan hingga sepuluh persen emisi global, lebih tinggi daripada gabungan antara industri penerbangan dan shipping.
Menurut Global Fashion Agenda and Mckinsey, pada 2018 industri fashion di seluruh dunia menghasilkan lebih dari 2 miliar ton emisi gas rumah kaca.
Dengan kesadaran yang meningkat di industri fashion dan kecantikan, saat ini pilihan produk lokal yang lebih baik untuk lingkungan makin banyak tersedia. Anda bisa tetap tampil glowing dan keren tanpa melukai alam, sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Caranya, cobalah produk-produk ini.
Sabun Citronella Sigi
Produk lokal Citronella atau sereh wangi tampaknya memang sedang naik daun. Selain dibuat sebagai minyak atsiri untuk aroma terapi, tanaman ini juga bisa digunakan sebagai bahan dasar produk anti-nyamuk, serta produk perawatan kulit dan rambut.
Sereh wangi ini pulalah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Sigi untuk membuat berbagai produk perawatan kulit.
Sereh wangi ditanam oleh masyarakat sebagai bagian dari penguatan ekonomi lokal program restorasi lahan pasca banjir bandang di Desa Pulu, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi.
Gagasan pembuatan sabun citronella yang dipasarkan dengan merek Tumbavani ini lahir dari upaya inovatif dalam mengembangkan produk turunan minyak sereh wangi.
“Tanaman sereh wangi dipilih karena memiliki masa panen yang relatif singkat, yaitu setiap empat bulan sekali, sehingga bahan bakunya mudah diperoleh dan berkelanjutan,” kata Nedya Sinintha Maulaning, Ketua Gampiri Interaksi Lestari, yang salah satu fokus kegiatannya adalah sebagai inkubator bisnis lokal.
Skincare inovatif dari alam Kalimantan Barat
Seluruh produk kecantikan serta perawatan kulit dan rambut yang diproduksi oleh Arcia menggunakan bahan dasar alami yang diambil dari tanah Kalimantan Barat.

Salah satunya adalah tanaman endemik di daerah tersebut, yaitu tengkawang (Shorea spp.), yang dibuat menjadi mentega untuk bahan dasar produk kecantikan. Di samping itu mereka juga menggunakan minyak kemiri, minyak kelapa murni, dan lidah buaya dalam pembuatan produknya.
“Semua bahan tersebut banyak ditemukan di Kalimantan Barat dan dapat diolah. Skincare Arcia tidak menggunakan campuran bahan kimia sintetis. Karena, pada awalnya masyarakat daerah ini tidak menggunakan skincare seperti sekarang, melainkan langsung mengoleskan bahan baku yang telah diolah secara tradisional pada kulit dan rambut,” kata Yenni Angreni, pendiri Arcia.
Essential oil beraroma Bali
Dengan kemasan premium yang elegan, mungkin orang akan menyangka bahwa produk Foresta merupakan produk impor. Padahal, produk kecantikan berbasis minyak atsiri dengan jenama tersebut dibuat dari bahan alami yang diambil dari hutan Indonesia.

Minyak atsiri Foresta dipasarkan dalam dua bentuk, yaitu minyak atsiri murni untuk kebutuhan aromaterapi dan formulasi lanjutan, dan produk turunan berupa produk kecantikan dan perawatan tubuh.
“Pendekatan ini memungkinkan kami menjangkau berbagai segmen pasar, mulai dari konsumen yang menginginkan bahan alami murni hingga mereka yang mencari produk jadi dengan manfaat langsung,” kata Eka Maulana Nugraha Putra, Business Director Conservana, perusahaan yang memproduksi produk Foresta.
Tenun ikat Dayak Iban
Dikenal sebagai tenun yang halus dengan pewarna alam yang cantik, tenun ini melukiskan keragaman, baik dari segi teknik, motif, hingga karakter warna. Hingga kini beberapa teknik tradisional yang masih lestari dan dipraktikkan, seperti teknik sidan, ikat, sungkit, pileh selam, dan pileh amat.

Hardiyanti, peneliti independen Mahakarya Tenun, bercerita, bagi suku Dayak Iban yang tinggal di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menenun bukan sekadar keterampilan. Ini adalah jalan untuk mengenal dan mengukuhkan jati diri.
Dalam setiap helai benang, mereka menemukan warisan leluhur dan kekuatan sebagai perempuan muda Iban yang diberkahi bakat alami menciptakan keindahan.
“Karya-karya indah yang dihasilkan menjadi sumber penghidupan, menopang kebutuhan pendidikan dan keperluan pribadi. Lewat tenun, mereka belajar mandiri, membuktikan bahwa pelestarian budaya tak harus tertinggal, melainkan bisa melangkah sejajar dengan harapan dan masa depan,” kata Hardiyanti.
Tas rajut noken khas Papua
Dulu, noken terlihat dalam bentuk yang biasanya serupa. Kini, tas tradisional dari serat kulit kayu khas Papua ini hadir dalam model. Meskipun, Anda juga bisa menemukan koleksi tas rajut noken dengan model yang tradisional.

Warnanya pun tak melulu warna asli serat kayu, melainkan bermain dalam spektrum warna yang cerah. Tas yang telah diakui oleh UNESCO sebagai Intangible Cultural Heritage ini bisa digunakan di berbagai kegiatan, mulai dari kuliah hingga pesta.
Naomi Waisimon, co-owner Ki.Basic, menguraikan, brand-nya mengembangkan produk dengan mengangkat cerita dan sumber lokal, sekaligus berbagi tentang budaya dan perjalanan pembuatan koleksi tersebut.
“Contohnya, koleksi noken tradisional diberi nama KBO, yang dalam bahasa Namblong berarti noken. Kami sama sekali tidak mengubah bentuk noken itu, tradisional sehingga kami menamainya dengan sebutan asli orang Namblong,” kata Naomi, yang bekerja sama dengan brand dan penjahit lokal di Papua.
Dompet kain kulit kayu Sigi
Aksesori fashion dari kulit hewan, sih, sudah biasa. Yang luar biasa adalah aksesori dari kulit kayu. Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sigi, Sulawesi Tengah, berinovasi mengembangkan produk aksesori fashion, seperti tas dan dompet dari kain yang berbahan dasar kulit kayu.
Harapannya, kain kulit kayu tidak hanya dikenal sebagai simbol budaya lokal, melainkan sebagai komoditas bernilai ekonomi yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
“Sebab, saat ini penggunaan kain kulit kayu masih bersifat sakral dan terbatas pada kegiatan adat atau upacara besar masyarakat setempat. Kain ini belum digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari” kata Nedya. ( kanalbali/RLS/RFH)



 
		 
		