
BULELENG, kanalbali.id – Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, Bali, I Made Sedana mengungkapan sejumlah faktor yang menyebabkan ratusan siswa SMP di Kabupaten di bali itu belum bisa membaca dengan lancar.
Pertama, ialah faktor motivasi belajar yang rendah sekitar 50 persen, kedua peran orang tua yang tidak memperhatikan anaknya untuk belajar, itu sekitar 20 persen dan faktor disleksia gangguan pada neuron anak sekitar 10 hingga 15 persen.
“Pertama, karena memang motivasi belajar anak itu rendah, itu di angka 50 persen. Kemudian peran orang tua ada di angka hampir 20 persen, yang lain itu ada karena faktor disleksia jadi ada ganguan pada neuron mereka, di kemampuan mereka untuk mencerna pelajaran jadi ada di otak itu,” kata Sedana, saat dikonfirmasi, Selasa (15/4).
BACA JUGA: Atasi Ancaman Krisis Pangan, Koster Minta Kadis Pertanian Belajar ke Israel
“Kemudian ada juga karena faktor lain-lain itu sekitar 55 persen. Mungkin di sana karena ada faktor gurunya, faktor lingkungan sekolah dan sebagainya. Jadi banyak faktor yang menyebabkan (tidak lancar membaca),” imbuhnya.
Namun menurutnya, dari data yang didapatinya faktor yang paling dominan ialah soal motivasi belajar para siswa yang rendah dan anak-anak atau para siswa sekarang senangnya bermain game yang justru tidak mengedukasi.
“Motivasi belajarnya sudah rendah, rasa ingin taunya atau ingin belajar rendah sekali, itu penyebabnya. Jadi faktor disleksia itu hanya 10 sampai 15 persen saja yang dominan karena motivasi mereka, yang kedua itu mungkin karena orang tua dan lingkungan dan yang lainnya itu mungkin kurikulum juga masuk ada di dalamnya faktor media sosial dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Selain itu, faktor lainnya anak-anak sekarang yang suka main handphone dan kecanduan media sosial dan itu sangat berpengaruh kepada tingkat pembelajaran siswa sekarang dan ada bahkan siswa yang tidak bisa menulis di buku pelajaran.
“Karena ada anak-anak yang lancar baca, tapi disuruh nulis dia tidak bisa. Waktu ketika saya sodorkan handphone untuk mengetik lancar sekali itu, berarti ada budaya menulis yang hilang di kalangan anak muda,” jelasnya..
Ia juga menerangkan, bahwa ada siswa yang bisa membaca tapi tidak bisa menulis di buku pelajaran tetapi jika menulis di handphone mereka bisa dan lancar. Tapi untuk data anak-anak yang tidak bisa menulis dengan lancar pihaknya masih belum mendatanya.
“Kalau itu data-nya belum saya ceks. Tapi ada indikasi, banyak anak yang bisa membaca tapi nggak bisa menulis. Jadi budaya menulisnya hilang, karena pakai gadget dan laptop itu. Sedikit-sedikit dia ngeprint, sehingga gimana nanti merangsang kembali tradisi menghitung, membaca dan menulis kayak dulu. Karena bagi kami, kalau dia menulis pasti bisa membaca dan pikirannya atau otaknya itu berproses,” ujarnya.
Ia menyebutkan, data siswa SMP di Kabupaten Buleleng yang belum lancar membaca dari data yang sudah diskrining ada sekitar 360 siswa dari sekitar 70 sekolah baik swasta maupun negeri, dan dalam satu sekolah ada 8 anak yang belum lancar membaca dan bahkan dalam satu sekolah ada 20 siswa yang belum lancar membaca.
“Ini masih fluktuatif, waktu awal kita kisaran 400 siswa (yang belum lancar baca). Tadi setelah diskrining, karena sedang berproses juga, beberapa sudah mulai keluar dari zona itu, sehingga ada 360 siswa. Itu ada di 70 SMP negeri dan swasta, 70 sekolah dan tersebar, itu ada 1 sekolah ada 8 (siswa yang belum lancar baca) justru ada 1 sekolah hampir 20 siswa yang belum lancar baca,” ujarnya.
Namun menurutnya, data itu belum termasuk data sekolah-sekolah yang dibawa naungan Kementerian Agama dan pihaknya telah berkomunikasi dengan Departemen Agama (Depag) di Buleleng, untuk mencoba mendata para siswa SMP yang belum lancar membaca, dan bisa saja nantinya bisa lebih banyak.
“Bisa jadi (lebih banyak). Tapi kalau kami menunggu data-nya dulu kami belum bisa menyampaikan secara detail, karena memang proses untuk pendataan. Dan data itu by name by address,” jelasnya.
Ia juga menyatakan, bahwa persoalan siswa SMP belum lancar membaca tidak hanya terjadi di Kabupaten Buleleng, tetapi di kabupaten lainnya yang ada di Pulau Bali.
“Terus terang saja ini masalahnya tidak hanya di Buleleng, cuman Buleleng yang baru mencoba mendata itu dan persoalannya ada di semua kabupaten di seluruh Indonesia. Kita mulai mencoba mengungkap, tujuannya apa, supaya masyarakat ataupun publik tau secara bersama-sama menyadari bahwa masalah ini adalah masalah kita bersama itu. Dan jangan saling menyalahkan itu sebenarnya,” ujarnya.
“Saya yakin itu ada (di kabupaten lainnya di Bali), karena ini persoalan (pengaruh) media sosial kemudian faktor-faktor yang saya sampaikan tadi. Kayaknya ada di kabupaten lain untuk memastikan itu silahkan masing-masing kabupaten Disdikpora, dengan dewan pendidikannya untuk mendata kembali persoalan itu, apakah ada atau tidak. Tapi saya yakin dari seribuan anak pasti ada persoalan,” ujarnya.
Pihaknya juga menyarakan, agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali lewat Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) kabupaten dan Kota di Bali mendata para siswa SMP di Bali yang belum lancar membaca dan menulis sehingga nantinya bisa menyelesaikan persoalan tersebut.
“Memang yang pertama kita harus data dulu. Jadi dari data itu setiap kabupaten di Bali bagaimana kondisinya anak-anak yang tidak bisa baca, atau membaca tidak lancar atau bisa membaca tapi tidak bisa menulis, bagaimana data-nya setiap kabupaten.Dan nanti dari data itu, silahkan apa kebijakan yang berbasis data sehingga menyentuh persoalan ini,” ujarnya. ( kanalbali/KAD)
Be the first to comment