DENPASAR, kanalbali.id – Perbincangan hangat menyeruak perkara bisa tidaknya, sastrawan hidup dari karya sastranya. Gara-garanya adalah laporan jurnalistik dimana beberapa sastrawan tua di Indonesia yang pada usia senja berjuang sendirian melawan penyakit.
Kondisi mereka tak sebanding dengan sumbangsih mereka terhadap sastra dan pemajuan kebudayaan dari karya-karya mereka berupa puisi, cerita pendek (cerpen), dan juga novel. Sastrawan asal Bali, I Wayan Suardika, menilai jawabannya akan sangat subjektif.
Bagi pria berusia 62 tahun yang akrab disapa Suardi , hidup dari sastra bukan sekadar persoalan mungkin atau tidak mungkin, tetapi tentang totalitas seseorang dalam menjadikan sastra sebagai bagian dari hidupnya.
“Berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai pengarang dan penulis, hampir 100% kehidupan saya ditopang oleh sastra. Sastra bukan hanya puisi, cerpen, novel, atau esai. Ia lebih dari itu. Sastra adalah narasi besar, suatu bentuk pengetahuan mendalam yang mengakar pada cara manusia menulis, berpikir, dan menyikapi hidup,” ujar mantan jurnalis dan redaktur ini.
Suardika menyatakan, pada beberapa budaya, seperti di Tiongkok, sastra bahkan pernah disebut sebagai “pengetahuan besar”, sejajar dengan ilmu kedokteran dalam membentuk pandangan hidup manusia.
Menurut pemahamannya, sastra memiliki tiga akar utama, yaitu bagaimana seseorang menulis, bagaimana seseorang berpikir, dan bagaimana seseorang menyikapi hidup. Ketiga hal ini, kata Suardika, bukanlah sesuatu yang eksklusif milik penyair atau novelis.

“Seseorang dengan bakat menulis dapat menjelma menjadi jurnalis, penulis naskah iklan, editor, guru, hingga pembicara publik. Dengan kata lain, kemampuan sastra tidak terbatas pada bentuk karya tertentu. Ketika ditekuni secara total, potensi sastra sangat luas dan menyentuh banyak bidang kehidupan,” ucap Suardika.
Dengan tegas, ia menilai bahwa seseorang yang memiliki bakat besar dalam sastra namun enggan menjadikannya jalan hidup, justru sedang mengkhianati dirinya sendiri. “Ini bukan tentang menjadi miskin karena menulis puisi—meskipun puisi memang dikenal sulit dijual—melainkan tentang keberanian untuk menempuh jalan hidup yang diyakini,” jelas Suardika.
Ia menyebut nama penyair Chairil Anwar, yang dikenal total dalam kepenyairannya. Salah satu larik puisinya menggambarkan totalitas hidup dari sastra:
“Rumahku dari unggun timbun sajak/di situ aku berbini dan beranak.”
“Puisi ini mencerminkan sikap hidup seorang yang berserah penuh pada dunia sastra. Sebuah bentuk pengabdian yang tidak hanya menyentuh sisi estetik, tapi juga eksistensial,” kata Suardika yang telah menerbitkan beberapa novel dan buku kumpulan cerpen dari penerbitan yang dikelolanya.
Untuk bisa hidup jadi sastrawan, berdasarkan pengalaman pribadinya, penulis sebaiknya tidak hanya menghasilkan cerpen, puisi, novel, dan esai. Ia mesti juga bisa bekerja sebagai editor naskah, jurnalis, hingga penulis teks iklan layanan sosial.
“Semua ini dilandasi oleh kemampuan menulis yang kuat dan wawasan berpikir yang luas. Bahkan dalam profesi sebagai editor, saya tidak sekadar mengoreksi tata bahasa, tetapi juga memperhatikan karakter dan ruh tulisan si penulis,” pungkas Suardika.
Ini menunjukkan, imbuh dia, bahwa pengaruh sastrawan menembus berbagai bentuk komunikasi tertulis. Asalkan memiliki akar yang kuat—dalam menulis, berpikir, dan menyikapi hidup—maka seseorang dapat menghidupi dirinya melalui banyak cabang profesi.

Meluaskan Pemahaman tentang Sastra
Salah satu gagasan kunci yang ditekankan Suardika adalah pentingnya meluaskan pengertian tentang sastra. Ketika seseorang mampu menulis puisi, cerpen, novel, atau esai dengan mutu baik, potensi itu bisa dikembangkan lebih jauh. Misalnya, membuka kursus menulis, menjadi pembicara webinar, atau membentuk komunitas literasi.
Kata Suardika, pada era digital sekarang, ruang ekspresi dan peluang ekonomi dari dunia sastra terbuka semakin lebar. Baginya, sastra adalah bahasa. Sastra adalah tulisan. Dua unsur ini menjadi fondasi esensial dari dunia komunikasi modern.
“Ketika seseorang menguasainya, ia sejatinya telah menjadi seorang generalis—seorang yang mampu membaca dan memahami berbagai aspek kehidupan seperti politik, budaya, ekonomi, dan sosial,” tukas Suardika.
Penulis yang juga pengamat seni ini menegaska bahwa ia hidup dari sastra dan berhutang banyak pada sastra. Baginya, sastra adalah jalan hidup. Ketika seseorang menghidupkan sastra, maka sastra akan balik menghidupkannya. Inilah makna terdalam dari hubungan antara manusia dan dunia sastra. Hubungan ini bukan hanya utilitarian, melainkan spiritual dan eksistensial.
“Sastra itu hidup ini. Ketika kita hidup dari sastra, kita menghidupkan diri pada kehidupan ini,” kata Suardika.
Sebuah kalimat penutup yang tegas, reflektif, dan sekaligus inspiratif. Sastra bukan jalan sempit yang gelap. Ia adalah jalan luas dengan banyak cabang dan kemungkinan. Selama seseorang punya keberanian dan totalitas, sastra akan selalu menjadi rumah yang menghidupi. (KanalBali.id/Angga Wijaya)


