
Lantunan merdu lagu lagu rohani menggema di ruang keluarga kediaman Marselinus Woda di kawasan Sanur, Minggu pagi (21/6). Sebuah lilin menyala di atas meja, di antara salib, patung bunda maria, dan rosario. Masih di meja yang sama, terdapat buku berisikan lagu lagu rohani ,berdampingan dengan wadah berisi air berkat.
Sebuah gawai berukuran 6 inchi terpasang di antara benda benda kudus itu. Dari situlah, lantunan lagu yang menjadi panggilan untuk bersiap siap mengikuti ibadah. Marsellinus dan keluarga bergegas mengganti pakaian, mengenakan kemeja batik layaknya hendak berangkat ke gereja.

Segera setelah ibadah dimulai, ia bersama anak, istri dan dua cucunya bergegas duduk di kursi dan sofa . Mereka khusuk mengikuti prosesi di akun media sosial yang menyiarkan secara langsung ritual di Gereja Katedral, Denpasar. “Terasa lain ya pastinya. Tapi mau bilang apa, kondisinya seperti ini,” kata Marselinus.
Sejak Maret lalu, mereka sudah tak pernah lagi ke gereja untuk menjalani ibadah. Pandemi COVID-19 membuat Marselinus dan umat lainnya harus mengikuti misa yang ditayangkan secara online. Setiap hari Minggu, kanal khusus disiapkan untuk menayangkan misa mingguan selama masa pandemi COVID-19 secara online.
Bagi pria 69 tahun yang hidup dalam tradisi Katolik ini, mengikuti misa dari rumah menimbulkan pergolakan rasa tersendiri. Sebab baginya, misa mingguan tidak hanya soal berdoa. Momentum itu juga merupakan ajang bertemu kerabat, keluarga dan umat lain. Selain itu, dengan mengikuti misa hanya dari rumah, ia tidak bisa menerima hostia sebagai perlmbang tubuh dan darah kristus.

Tidak hanya misa mingguan. Beberapa hari raya besar seperti Paskah, Kenaikan Yesus Kristus dan Pentakosta juga dilaluinya tanpa pergi ke gereja. Ada rasa haru manakala pada perayaan besar itu hanya dirayakan di rumah saja. Walau demikian, ayah tiga anak ini dapat memaklumi situasi yang sedang terjadi. “Semua demi kebaikan bersama,” kata dia sembari berharap pandemi COVID-19 dapat segera berlalu. “Saya berharap Natal tahun in sudah bisa dirayakan dengan mengikuti misa di gereja, tidak melalui handphone lagi,” ucap Marsel.
Feri Kristianto, jemaat gereja Bala Keselamatan Denpasar juga terpaksa menjalani ibadah hanya dari rumah. “Ada ibadah secara virtual yang difasilitasi gereja,” kata Feri.
Gereja Bala Keselamatan Korps 1 Denpasar tempat Feri dan keluarga biasa beribadah memang menerbitkan imbauan untuk beribadah dari rumah. Bagi Feri, beribadah dari rumah bukanlah masalah. Meski demikian, Feri mengaku merasakan perbedaan besar antara beribadah di rumah dan di gereja.
Beribadah di rumah membuatnya kurang berinteraksi dengan jemaat lain. Hal itu terutama sangat dirasakannya saat awal awal digelarnya ibadah mvirtual. “Perbedaan lainnya dari segi persiapan sih. Kalau di gereja, kami biasanya menggunakan uniform (pakaian seragam). Tetapi karena di rumah, ya pakaian seadanya. Selain itu, di rumah rasanya kurang khusyuk sih,” ucap Feri.

Pastor Paroki Roh Kudus Katedral – Denpasar, Romo Herman Yoseph Babey menjelaskan, langkah penutupan gereja dituangkan dalam keputusan resmi uskup Denpasar. Gereja keusukupan Denpasar kemudian mengambil keputusan menutup gereja setelah ada surat resmi dari pemerintah provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat yang diperkuat oleh surat imbauan dari Walikota Denpasar.
Selain ibadah misa mingguan dan harian, gereja katolik juga meniadakan seluruh aktivitas di komunitas basis umat, pembinaan anak maupun kegiatan rohani lainnya yang mengumpulkan umat dalam jumlah besar.
Dia mengakui, penutupan gereja memberi dampak , terutama di masa masa awal. Nuansa sakral seakan-akan berkurang. Meski demikian, pihaknya berupaya agar umat tidak menemukan hambatan dalam melaksanakan ibadah secara virtual. “Tata perayaan ekaristi juga dibuat lebih singkat agar bisa menghemat kuota (internet),” pungkas Romo Babey.

Menyusul rencana menuju kenormalan baru, Gereja Katolik di Keuskupan Denpasar berencana menggelar kembali ibadah pada pekan pertama Juli. Rencana ini tentu saja disambut baik oleh jemaat yang sudah rindu pada rumah ibadahnya.
Namun rencana penyelenggaraan ibadah di gereja ternyata tidak berarti apa apa bagi Marselinus. Pasalnya, gereja memberi batasan usia tertentu untuk hadir di gereja, yakni minimal sekitar 10 tahun atau telah menerima sakramen komuni dan maksimal 65 tahun. “Senang sekali kalau gereja dibuka lagi. Sayangnya saya belum bisa karena sudah 69 tahun. Saya percaya semuanya akan kembali seperti semula, ” ucap Marsel. ( kanalbali/Robinson Gamar /Komang Erviani)