
DENPASAR – Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Prof. I Made Supartha Utama menekankan perlunya langkah yag sistematis dan kolaboratif dalam menjaga ketahanan pangan di Denpasar.
“Mulai dari membuat peraturan ke dukungan yang nyata bagi pelaku lapangan sampai ke pemasaran produk pertanian,” katanya dalam acara Webinar bertajuk ‘Jaga Ketahanan Pangan Denpasar’ yang digelar Sapama Center, Selasa (3/11) malam.
“Alih fungsi lahan harus dihentikan karena itu bisa menyebabkan ketahanan pangan lokal bisa menurun,” kata Supartha. Berdasarkan data yang dirilis oleh Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Perkebunan Kota Denpasar pada 2019 lalu, jumlah produksi padi di Kota Denpasar hanya berada di angka 28 ribu ton dalam setahun.
Angka itu, hanya mampu memberikan sekitar 5% kebutuhan beras di Kota Denpasar pada penduduk 468 ribu jiwa.”Jadi terjadinya alih fungsi lahan yang tinggi itu, secara jelas menyebabkan menurunnya daya dukung ketahanan pangan lokal,” jelasnya.

Bagi Supartha, agar alih fungsi lahan bisa ditekan di Kota Denpasar, pemerintah terkait harus mengambil langkah yang efisien dan efektif agar sistem pertanian di Kota Denpasar memberikan nilai tambah dan pemasukan kepada masyarakat. Sebab selama ini, lanjut dia, terjadinya alih fungsi dipengaruhi oleh kecilnya pendapatan yang di dapat oleh masyarakat dari pertanian.
“Jadi sekecil apapun lahan yang ada, itu harus bisa dimanfaatkan untuk ketahanan pangan. Pemerintah harus mendukung kegiatan-kegiatan pertanian, mulai dari menfasilitasi bibitnya hingga sistem penasaran yang akan dilakukan bagaimana,” ujarnya.
Supartha menegaskan sistem yang dijalankan harusnya mengarah pada kelas konsumen yang mulai bergeser. “Konsumen di denpasar sudah mulai bergeser ke semi modern atau konsumen yang melihat kualitas pangan sebagai acuan berbelanja,” terangnya. Pengembangan pertanian juga harus meerespon situasi itu denngan menghadirkan produk yang berkualitas dan ramah lingkungan sehingga bisa menjual dengan harga yang lebih tinggi.
Salah satu pelaku pengembangan pertanian perkotaan Gede Mantrayasa menyatakan, pihaknya berusaha agar mengembangkan kebun dengan memanfaatkan tanah kosong yang ada di wilayah Banjarnya, yakni di Banjar (dusun-red) Tegeh Sari, Tonja, Denpasar.
Upaya ini kemudian menjadi gerakan kolaboratif yang melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat, pemerintah dan warga desa. “Dari desa adat memberi dorongan dengan menetapkan aturan soal pengelolaan lahan kosong agar tidak menjadi tempat pembuangan sampah,” jelasnya.
“Kebetulan di wilayah kami, banyak yang menganggur karena terdampak pandemi,” jelasnya. Gerakan ini ternyata berhasil menghadirkan kebun bersama serta usaha ternak lele yang menjadi alternatif pekerjaan bagi warga.
Karenanya, pembuatan kebun kemudian makin meluas meski masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan warga sendiri. “Kalau ke depannya, kami tentu ingin membuat jaringan pemasaran yang lebih luas bila produksi sayuran sudah cukup banyak dengan kualitas yang konsisten,” ujarnya. (Kanalbali/ACH)