oleh: Eko “Wustuk” Prabowo
Dialog Dini Hari (DDH), sejak dulu, adalah perpaduan dinamis nyaris mistis antara petikan gitar Pohon Tua dan kelincahan perkusi Denny Surya. Dalam jalinan rasa khas dan bening, keduanya melahirkan banyak sekali lagu indah yang tak sekadar enak didengar, melainkan betulan menyelusup sampai ke relung batin terdalam.
Tanpa disadari pendengarnya, lagu-lagu DDH bersemayam di dalam pikiran mereka, menjadi satu dengan kesadaran mereka sebagai manusia yang memanggul luka-luka. Itu, tentu saja, dimungkinkan karena pilihan tema lagu dan rangkaian lirik dengan diksi mahasastrawi yang setia disuguhkan Pohon Tua.
Hari ini, melalui album teranyar mereka bertajuk Renjana, DDH makin mengukuhkan citra dirinya tersebut. Tidak ada lagu yang ditulis seadanya, sekadar untuk menghibur atau menangguk perhatian khalayak.
Tiap lagu disuguhkan dalam tata musik apik, mengusung tema penuh kesadaran tentang rasa di dalam diri, juga situasi terkini bangsa ini. Rasanya memang tak ada yang luput dari pengamatan DDH. Mereka menyuling kehidupan, menjadikannya suguhan musik yang merekam pergerakan zaman.
Lagu Lama dan Baru Menyatu dalam Formasi Baru
Renjana menyajikan 11 lagu. Dari lagu pertama hingga pamungkas, urutannya sebagai berikut: “Adab”, “Teruntuk Bahagia”, “Merpati”, “Nurani”, “When We Were Young”, “Atas Nama Rakyat Bukan untuk Rakyat”, “Durja”, “Beranilah Melawan”, “Kita dan Dunia”, “Pohon Tua Bersandar”, dan yang terakhir adalah “Miles Away”.
Tidak semua merupakan lagu baru. Beberapa di antaranya adalah lagu lama yang diaransemen ulang. Sebut saja “Kita dan Dunia” yang sempat dijadikan kado pernikahan bagi Saylow, yang kini kembali diberi tanggung jawab mengurus DDH.
Juga “Teruntuk Bahagia” yang merupakan lagu untuk buku berjudul sama, berisi kisah seorang praktisi yoga dan balet bernama Lisa Samadikun. Atau “Pohon Tua Bersandar” yang kemudian menjadi pijakan bagi lahirnya sebuah buku prosa liris berjudul Dua Senja Pohon Tua. Kedua buku tersebut ditulis oleh Eko “Wustuk” Prabowo dan diterbitkan Edraflo.
Sepeninggal Brozio, DDH kini digawangi berdua saja oleh Pohon Tua dan Denny Surya. Mereka diperkuat dengan kehadiran Kristian Dharma (bas dan synthesizer) serta Awenghimawan (banjo).
Di beberapa lagu di album barunya ini, DDH menghadirkan juga musisi pendukung lain, yaitu Wilis Permadi (cello), Rivelino Ismaya (akordion dan Uileann pipes), dan Stella Paulina (Irish flute). Di barisan penyanyi latar ada Lyta Lautner, Jascha Riri, Sydney Barnett, Enzi Rozi, dan Rico Mahesi.
Semua lagu dalam album Renjana ditulis oleh DDH, termasuk liriknya. Kecuali di lagu “When We Were Young” yang menyertakan Elisa Wettstein sebagai penulis lirik kedua.
Proses rekaman, mixing, dan mastering dikerjakan di Uma Pohon Studio, Posko Studio, Lengkung Langit Studio, Song Studio, Electric Ear Studio, dan Rare Ear Studio. Lokasi studio-studio tersebut merentang dari Denpasar, Ubud, Los Angeles, hingga Texas.
Album yang artwork-nya dikerjakan oleh Pansaka ini diproduksi di bawah bendera label Rain Dogs Records.
Keresahan Sosial
Dibuka dengan “Adab”, jelas DDH sedang sangat resah terhadap situasi sosial terkini. Keresahan itu makin kental terasa dengan hadirnya “Atas Nama Rakyat Bukan untuk Rakyat” dan “Beranilah Melawan” di urutan lagu keenam serta kedelapan.
Melalui dua aransemen yang bernuansa nordic folk sedikit psikadelik itu, mereka menyatakan, dengan anggun, bahwa bangsa kita tidak sedang baik-baik saja. Semua mau menangnya sendiri. Ketidakpedulian kolektif menular.
Penguasa menindas lalu ngibul merekalah Sang Penyelamat. Orang-orang dipaksa bekerja sampai setengah mati dengan upah tak layak. Mereka Lapar. Dahaga. Dan bodoh.
Tiga lagu ini mengukuhkan peran DDH sebagai seniman tulen. Mereka tidak menutup mata pada dunianya. Sebaliknya, mereka meresapi semua penderitaan di sekitar dan menuangkannya jadi karya.
Mereka menjadikan lagu-lagunya kendaraan bagi sebuah pesan penting. Sebuah ajakan untuk hidup berkesadaran. Ketiga lagu itu, dalam batasan tertentu, layak disebut sebagai karya musik dengan muatan jurnalisme yang indah. Sangat humanis.
Kepedihan Bukanlah Akhir
Namun demikian, penggemar fanatik DDH tentu mengamini, adalah lagu-lagu yang menukik dalam ke relung batinlah yang membuat mereka kepincut. Keracunan. Kecanduan. Dalam Renjana, DDH menyuguhkan itu semua dengan piawai. Luar biasa membius.
Ambil contoh “Nurani”. Ini jelas warna baru dalam musik DDH. Sunyi. Menusuk. Dalam lagu ini terasa sekali betapa kehilangan cinta menghadirkan rasa sepi yang tak tertanggungkan. Bagaimana malam memeluk dan menenggelamkan.
Namun demikian, sebagaimana biasanya, Pohon Tua menolak larut dalam ketakberdayaan. Dia mengubah situasi jahanam menjadi sebuah doa. Menjadi sebuah penerimaan. Di mana ada luka, di sanalah sinar-Nya dapat masuk menerangi jiwa yang dicekik kegelapan. Begitu kira-kira.
Dengarlah petikan liriknya, yang jelas bukan ditulis untuk sekadar berindah-indah dalam kata:
“Jika bukan karena cinta
lagu ini takkan tercipta
Jika bukan karena luka
lagu ini takkan pernah ada.”
Resapi juga “Durja” yang menikam batin. Petikan gitar yang terdengar bening menopang suara serak dan lelah Pohon Tua. Betapa lelah dia memperjuangkan cinta. Kita dapat menduga, ini bukanlah perkara cinta kepada manusia, melainkan cinta kepada Sang Pencipta.
Dalam hidup yang limbung, cinta kepada-Nya silih berganti hadir dan sirna. Kadang air mata mengalir dan, lagi-lagi, berubah menjadi doa. Dengarlah upaya terakhirnya yang barangkali sia-sia, menolak putus asa dalam bait-bait ini:
“Lelaki kuat bukanlah mereka yang menang
Tetapi mereka yang tabah
Ketika tumbang
Ketika tumbang
Airmataku yang mengalir dalam doa untukmu
Semoga aku tak kehilangan jejak cahayamu.”
Dengan sangat mumpuni, DDH menunjukkan bahwa segenap kepahitan hidup, penderitaan batin yang dipikul hampir oleh semua insan di dunia, dapat disuguhkan dengan anggun. Tidak perlu cengeng. Jauh dari upaya beriba-iba, mengasihani diri sendiri.
Dan di atas segalanya, selalu ada kesadaran baru yang tumbuh dari semua keruwetan batin itu. Rasanya, itulah definisi sesungguhnya menjadi manusia. Yaitu menerima kepedihan (bukan menghindarinya!), menjadikannya bagian diri, dan kemudian transenden. Terlahir menjadi manusia baru. Setiap hari.
Renjana adalah Sedalam-dalam dan Sekuat-kuatnya Rasa Batin DDH
Dengan racikan musik yang demikian menghanyutkan, tema lagu yang peka terhadap situasi di luar dan di dalam diri, serta pilihan kata yang disusun apik jadi lirik menukik, Renjana jelas menawarkan pengalaman bunyi dan batin yang dalam.
Luar biasa menyentuh. Mendengarkan album ini dalam keheningan, barangkali di kamar, di tepi hutan di kaki gunung, di atas pasir putih di sebuah pantai terpencil, atau di loteng saat malam jatuh dan bintang-bintang mulai berpijar, dapat jadi pilihan utama.
Masuklah ke dalam lagu-lagu di album Renjana. Masuklah juga ke dalam dirimu sendiri. Dan temukan dunia mahaluas yang disesaki misteri Ilahi. Sebuah pengalaman mistis yang rasanya memang perlu lebih sering kita resapi.
Agar kita sadar, hidup memang bukan perkara logika semata. Banyak hal-hal yang lebih megah yang barangkali selamanya tidak akan mampu kita pahami. Jalani saja. (Kanalbali/IST)
Be the first to comment