
KARANGASEM, kanalbali.id – Religion for Peace (RfP) Indonesia dan Gita Santih Nusantara pada Minggu tanggal 2 April 2023 mengadakan Kelompok Diskusi Terfokus (Focus Group Discussion/FGD) untuk menghimpun dan mempertajam gagasan rencana aksi dalam merespons perubahan iklim yang sedang terjadi di Bali.
Perubahan iklim yang sedang terjadi dimana-mana, baik di Indonesia maupun di dunia. Salah satu topik inti (selain perdagangan manusia, pendidikan perdamaian) yang menjadi 3 dari 5 topik utama di Asian Conference of Religion for Peace (ACRP), yang anggotanya terdiri dari 23 Negara, termasuk Indonesia.
Organisasi se-Asia Pasific ini antara lain didirikan oleh Gedong Bagoes Oka pada 1976 di Singapura.
Diskusi diikuti oleh 12 orang peserta berlangsung di Gedong Gandhi Ashram, Candi Dasa , Karangasem, Bali. Prof. Dr. M. Machasin selaku Ketua Presidium Religion for Peace (RfP) Indonesia, ACRP, dalam paparannya ketika memberi pengantar di awal acara menyampaikan saat ini ada banyak persoalan di depan mata, namun orang-orang beragama seperti tak berdaya.
BACA JUGA: Its Time 2023: The World Tourism Network Summit pre-launched in Bali
Dulu agama punya kuasa untuk mengambil hal-hal strategis dan kesadaran tentang makna nilai dari setiap agama masih dipakai sebagai kekuatan yang menyadarkan para umat beragama (pemimpin atau warga, komunitas) untuk menghargai kehidupan bersama yang saling menghidupkan, termasuk dengan alam, lingkungan.
“Kini kemampuan itu berkurang, bahkan cenderung sebaliknya, saling merusak termasuk terhadap alam. Sudah saatnya kemampuan agama sebagai agen pemberi solusi dengan nilai-nilai kehidupannya dipulihkan dan itu tidak cukup hanya dengan kata-kata, bicara, melainkan harus dengan aksi konkrit,” katanya.
Prof. Nyoman Kertia, salah seorang anggota Religions for Peace Indonesia, juga sebagai Ketua Gita Santih Nusantara (GSN), dalam pembukaannya memberi satu contoh dengan menceriterakan pengalaman di masa kecil, masa anak-anak.
“Dulu, ketika saya masih kecil, melihat dan tahu persis bagaimana di Bali ini orang memberi makan kepada tikus. Sekarang, orang memberi racun kepada tikus. Akibatnya banyak bakteri, virus yang bisa beredar. Jadi, terjadi perubahan. Mengapa? Ini perlu dipikirkan serius, mengapa berubah? Apa yang terjadi?,” katanya.
RfP-Indonesia, sebagai lembaga yang memberi perhatian kepada isu-isu hubungan antar iman (semua agama dan kepercayaan) berupaya mendorong agar para pemimpin, tokoh dan umat dari semua agama dan kepercayaan dapat memberikan respons kritis dan konstruktif terhadap berbagai persoalan, salah-satunya adalah persoalan perubahan iklim.
Program ini sudah dimulai sejak tahun 2022 (tahun pertama) dalam bentuk 3 seri webinar (Agustus, Oktober, Desember) dan satu FGD (Januari 2023). Tahun 2023 RfP memfokuskan kegiatannya kepada rencana aksi dalam merespons perubahan iklim. Isu perubahan iklim (Climate Change) bukan lagi merupakan isu yang ‘jauh’ di masa depan, namun sudah merupakan real issue yang dihadapi oleh masyarakat, kurang lebih sejak 5 tahun terakhir atau lebih.
Pdt. Elga J. Sarapung selaku anggota RfP Indonesia, Vice President dari ACRP, serta Ketua Jaringan Perempuan se-Asia-Pasifik dari ACRP menegaskan bahwa penting melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap cara melakukan kampanye, sosialisasi terus-menerus, baik melalui pendidikan formal (sekolah-sekolah, kampus) maupun informal melalui, antara lain komunitas agama-agama dan kepercayaan, komunitas adat, dalam menghadapi isu perubahan iklim.
Terutama, dalam menyasar kalangan anak muda, generasi yang sedang dan akan terus berhadapan dengan masalah perubahan iklim bila sejak sekarang tidak melakukan aksi konkrit yang jelas dan tepat dalam pencegahan dan mengatasinya.
Caranya, tidak hanya dengan penanaman pohon, mengurangi sampah plastik, tetapi juga membangun mental dan spiritualitas, gaya hidup yang mencintai lingkungan alam, hutan, air, sungai, laut, tanah. Termasuk yang paling penting adalah bagaimana kebijakan yang berpihak kepada lingkungan alam yang baik dan sehat tidak dikalahkan oleh berbagai kepentingan pembangun dan pengembangan pariwisata semata.
“Dimana uang dan kekuasaan menjadi andalan lalu kehidupan bersama yang sehat dan berjangka panjang terkalahkan. Contoh konkrit di Bali, adalah semakin banyaknya tanah, hutan, sungai, air yang berubah menjadi gedung-gedung dengan villa, hotel dan pusat pariwisata yang penuh dengan tembok, dan yang mencemarkan bahkan menghabiskan sumber air bersih,” katanya.
Nyoman Sadra, salah seorang Pengurus Gedong Gandhi Ashram, memaparkan bahwa ibu Gedong Bagoes Oka sebagai pendiri Ashram pada tahun 1976 telah memiliki komitmen yang kuat terhadap isu-isu lingkungan di Bali.
“Saya ingat betul saat itu bersama 10 mahasiswa Unud, ‘bu Gedong meminta kami mengobservasi desa-desa di sekitar Candidasa untuk memetakan persoalan di desa-desa tersebut sekaligus mencoba menemukan solusi dari persoalan yang ada”, jelas mantan anggota Dewan Kabupaten Karangasem (2009-20140) tersebut.
Tujuan ‘bu Gedong adalah membentuk kader-kader pedesaan yang memiliki pengetahuan praktis berbekal moralitas. Ibu Gedong, bahkan sejak tahun 1975 sudah mulai aktif mengumpulkan sampah plastik di Kota Denpasar; aksi yang kemudian dilanjutkan sebagai kegiatan Ashram Gandhi (yang kemudian menjadi Gedong Gandhi Ashram, 2003).
Sementara itu pengamat pariwisata dan lingkungan dari Unud, Prof. Nyoman Sunarta, M.Si., memandang penting rencana aksi yang tengah digagas oleh RfP-Indonesia dan Gita Santih Nusantara ini. Menurutnya rencana aksi mencegah dan mengatasi masalah perubahan iklim di Bali perlu dilakukan dengan menyesuaikan metodenya.
“Metode harus mengikuti sasaran dari kegiatan. Kalau sasarannya untuk meningkatkan kesadaran anak muda tentang tantangan perubahan iklim, harus mengikuti cara-cara anak-anak muda dalam merespons isu tersebut”. Hal yang didukung juga oleh Ibu Dewi Kanti (anggota RfP-Indonesia, anggota Komnas Perempuan RI) yang hadir dalam FGD tersebut.
Prof. Sunarta juga prihatin dengan apa yang sedang terjadi di Bali. Hal, yang tidak hanya berdasarkan omongan, tetapi berdasarkan pada berbagai penelitian yang dilakukannya bersama team di lapangan. Jadi dengan analisis dan data konkrit, kesaksian dan pengalaman.
Akhirnya forum mensepakati untuk memaknai kearifan-kearifan lokal dalam merespon tantangan iklim yang sudah dilupakan dan diekspresikan dalam medium kekinian.
Sebagai langkah aksi disepakati untuk mengadakan kegiatan, selain dalam bentuk sosialisasi kepada lingkungan yang lebih luas di masyarakat, terutama melalui agama-agama, kepercayaan dan komunitas adat serta lingkungan pendidikan; juga lomba film pendek yang bertemakan
“Respons Bali terhadap Climate Change” yang dibagi ke dalam beberapa sub tema, seperti pengelolaan sampah plastik, krisis air, subak, dan pariwisata berkelanjutan. Kegiatan film ini akan melibatkan anak-anak muda interfaith di Bali. Kegiatan direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2023 ini. (kanalbali/RLS)
Be the first to comment