Hoax Itu Berbahaya. Belajarlah dari Kasus Tolikara 2015

pixabay by geralt

Banyak kasus hukum di masyarakat berawal dari ujaran kebencian di ruang digital, termasuk yang disebarkan lewat media sosial. Salah satu sebabnya, netizen kurang memahami mengenai etika digital.

Yuliana Langwuyo, Petugas Pastotal/Aktivist, SKPKC Fransiskan Papua dalam Webinar Literasi Digital wilayah Yalimo, Papua, Jumat 3 Desember 2021 mengatakan bahwa setiap pengguna ruang digital harus memahami bahwa ada konsekuensi hukum yang akan dikenai kepada pelaku ujaran kebencian di dunia digital.

“Jika ada unggahan menyerang dan berpotensi pada konflik dan mengandung unsur ujaran kebencian maka unit siber polisi kakan berusaha menangkap pelaku, meskipun si pelaku bersembunyi di balik akun medsosnya atau membuat akun palsu,” ujar Yuliana dalam webinar yang dipandu oleh Jhoni Chandra ini.

Ia mencontohkan kasus di Tolikara pada bulan Juli 2015 yang awal faktanya ada  beberapa kios terbakar saat terjadi ketegangan antara dua kelompok massa dan api merembet sampai ke musholla. Sehingga musholla ikut terbakar.

“Faktanya memang ada tembakan oleh militer ke arah massa dan ada korban meninggal dunia karena peluru tajam. Tapi narasi yang berkembang adalah masjid dibakar oleh umat Kristen di Tolikara. Ada juga judul berita di media massa nasional yaitu masjid dibakar di Papua atau pembakaran masjid di Tolikara,” ungkapnya.

Cegah Hoaks, Jangan Asal Sebarkan Link yang Didapat dari WA Grup Ya!

Sementara dari hasil investigasi polisi ternyata masjid di Tolikara terbakar bukan karena dibakar. Ini berarti berita yang berkembang merupakan hoax.  Akibatnya, tak sedikit kelompok agama menyuarakan jihad ke Papua, salah satunya niat jihad dikumandangkan oleh Laskar Jihad Almarhum Ustadz Jafar Umar Thalib.

Jika dianalisa maka tipe ancaman hoax dalam kasus Tolikara Juli 2015 ini adalah munculnya miss informasi, yaitu informasi salah tapi orang yang sebarkan percaya bahwa informasi itu benar. Timbul juga penyebaran informasi yang sebetulnya tahu bahwa informasi itu salah tapi sengaja disebarkan untuk mengancam atau membahayakan orang lain.

“Juga bisa tercipta mal informasi yaitu informasinya benar tapi digoreng atau dibumbui kemudian dipakai untuk menghasut memancing kebencian terhadap orang lain,” imbuhnya.

Ia juga mengatakan bahwa pentingnya privasi dan perlindungan data pribadi. Sementara perlindungan data pribadi di indonesia sangat minim, mekanisme pengaduan lemah dan belum banyak kasus dimana penjahat era digital diproses hukum.

Selain Yuliana juga hadir pembicara lainnya yaitu Rizky Rahmawati Advokat dan Managing Partner Law Office Amali & Associates, Nuru Amalia, Pramugari Saudi Airlines, Digital Content Creator dan Forex Trader dan Ahmad Affandy sebagai Key Opinion Leader.

Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.

Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital. (kanalbali/RLS)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.