Komang Loster dan Layang-Layang Harapan di Bali Kandarupa PKB 2025

Lukisan Layang-layang karya Komang Loster yang menjadi simbol harapan seorang penyintas skizofrenia di PKB 2025 - IST
Lukisan Layang-layang karya Komang Loster yang menjadi simbol harapan seorang penyintas skizofrenia di PKB 2025 - IST

DENPASAR, KanalBali.id – Suatu malam di  pertengahan Juni, sebuah telepon masuk dengan nada suara yang tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. “Karyaku lolos lagi di Bali Kandarupa PKB 2025 !” ujar I Komang Sudiarta, pelukis asal Payangan, Gianyar, yang lebih dikenal dengan nama Loster.

Suara di ujung telepon itu terdengar gemetar, bukan karena gugup, melainkan penuh haru. Bagi Loster, kabar ini lebih dari sekadar pengumuman seleksi karya seni. Ini adalah titik terang dari perjalanan panjang sebagai penyintas skizofrenia, dan pembuktian bahwa seni bisa menjadi jembatan menuju pemulihan.

Karya Loster yang lolos bertajuk “Main Layangan”. Lukisan ini akan dipamerkan dalam ajang Bali Kandarupa 2025, sebuah pameran seni rupa yang digelar serangkaian dengan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 yang dibuka pada pada 21 Juni 2025 mendatang. Tahun ini, Bali Kandarupa mengangkat tema Sulur-Jagat-Suluh, Tata Semesta Pelita Rupa.

Komang Loster, seorang pelukis penyintas skizofrenia - IST
Komang Loster, seorang pelukis penyintas skizofrenia – IST

Bali Kandarupa meghadirkan karya cipta perupa Bali yang secara khusus mengungkap renungan Niskala-Sakala tata semesta jagat raya atau bhuwana agung. Tidak hanya lukisan, karya yang ditampilkan yakni prasi, patung, dan karya tiga dimensi lainnya.

“Artistika karya tetap mengumandangkan imaji, memori, dan jati diri seni rupa Bali dalam beragam langgam seni klasik dan tradisi, berikut capaian turunannya,” tulis tim kurator dalam keterangannya.

Sudah kali ketiga karya lukis Komang Loster lolos kurasi di ajang Bali Kandarupa. Ini membuktikan bahwa karya-karyaa lukis yang lahir dari tangan dinginnya memang layak disandingkan dengan puluhan pelukis lain di Bali. Tentu, terlepas dari kondisinya sebagai seniman yang juga penyintas skizofrenia.

Seni dan Pemulihan

Komang Loster lahir pada 9 September 1981 di Banjar Yeh Tengah, Kelusa, Payangan, Gianyar-Bali. Bakat seninya sudah terlihat sejak kecil. Ia kemudian menempuh pendidikan di SMK Seni Rupa Sukawati, Gianyar. Corak lukisannya berkembang dalam gaya tradisional Bali, khususnya gaya Keliki yang dikenal dengan detail halus dan narasi yang padat simbol.

Namun pada awal 2010-an, hidupnya berubah. Ia mengalami gangguan jiwa yang kemudian didiagnosis sebagai skizofrenia. Proses kreatifnya sempat terhenti. Dunia yang sebelumnya penuh warna mendadak redup. Ia menjalani perawatan dan masa pemulihan yang panjang, termasuk berkegiatan di Rumah Berdaya Denpasar, sebuah komunitas bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang mendorong proses pemulihan berbasis kegiatan seni dan sosial.

“Seni jadi semacam terapi buatku. Dulu sebelum sakit aku sudah melukis, dan setelah pulih, kupegang lagi kuas-kuas itu. Ternyata rasanya seperti bernafas kembali,” katanya, pada Selasa (17/6/2025).

Dalam proses pemulihannya, Loster bergabung dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali. Komunitas ini adalah cikal-bakal dari Rumah Berdaya Denpasar, berdiri pada 2015. Di sana, ia menemukan kawan-kawan senasib yang memiliki semangat untuk bangkit dan berkarya. Komunitas ini bukan hanya tempat berbagi cerita, tapi juga ruang yang mendukung ekspresi dan penguatan diri melalui seni.

Perjumpaannya kembali dengan kawan sekolah lamanya, Budi Agung Kuswara — seorang seniman visual Bali dan pendiri KETEMU Project — membuka kesempatan baru. Di KETEMU Project, Batubulan, Gianyar, Loster terlibat dalam program-program seni inklusif yang mempertemukan penyintas dengan publik seni arus utama. Ia sempat mengikuti pameran bersama di Singapura, Amerika Serikat, dan Jakarta. Karyanya juga tampil di Museum Puri Lukisan Ubud, salah satu institusi seni paling prestisius di Bali.

“Main Layangan”: Terbang Bersama Harapan

Karya “Main Layangan” yang akan dipamerkan di Bali Kandarupa mengandung narasi yang personal dan simbolis. Ia menggambarkan anak-anak yang sedang bermain layangan, dengan benang panjang yang seolah menyambungkan bumi dan langit. Layangan menjadi simbol kebebasan, kendali, dan mimpi yang melayang tinggi.

“Aku ingin menunjukkan bahwa setelah mengalami skizofrenia, bukan berarti hidup berhenti. Kita bisa punya mimpi, dan seni itu membantuku meraih mimpi itu kembali,” ujarnya.

Lukisan berbentuk lingkaran ini, menampilkan seekor ikan mas besar berwarna oranye keemasan yang menonjol sebagai fokus utama. Di atas punggung ikan, duduk santai seorang anak kecil, memberikan kesan keceriaan dan kebebasan.

Yang menarik dan menjadi interpretasi kunci dari judul adalah sulur atau ‘tali’ yang menjuntai dari mulut ikan. Alih-alih layangan konvensional, Loster sepertinya menggunakan ikan mas sebagai simbol atau metafora untuk layangan itu sendiri, atau sebagai kekuatan yang mengangkat.

Figur-figur manusia telanjang yang berjuang menggapai dan bergelantungan pada sulur tersebut dapat diinterpretasikan sebagai anak-anak yang mencoba “menggapai” atau “mengendalikan” layangan, atau bahkan representasi dari berbagai upaya dan tantangan dalam bermain layangan. Figur-figur di bagian bawah yang menari atau berpose dengan tangan terangkat semakin memperkuat nuansa permainan dan kegembiraan yang tercampur dengan usaha.

Latar belakang lautan berombak dan langit mendung yang dramatis mungkin bukan sekadar latar belakang, melainkan juga simbol dari tantangan atau kondisi alam saat bermain layangan—angin, cuaca, dan luasnya alam. Kehadiran kapal di kejauhan bisa jadi elemen yang menambah kedalaman narasi, melambangkan kebebasan melayang atau petualangan.

Secara keseluruhan, lukisan ‘Main Layangan’ ini jauh dari representasi harfiah sebuah layangan, melainkan sebuah interpretasi simbolis dan imajinatif dari Komang Loster.

Ia menggambarkan esensi dari permainan layangan—perjuangan, kegembiraan, dan kebebasan—melalui metafora visual yang kaya, mencerminkan gaya khas pelukis Bali yang seringkali memadukan mitologi, fantasi, dan kehidupan sehari-hari dalam karya-karya mereka

Komang Loster Menuju Bali Kandarupa PKB 2025 dan Panggung Inklusivitas

Bali Kandarupa sejak lama memang membuka ruang yang lebih luas bagi seniman dari berbagai latar belakang, termasuk penyintas disabilitas dan gangguan mental. Kehadiran Loster menjadi semacam pernyataan kolektif bahwa seni adalah ruang terbuka, bukan hanya bagi mereka yang “sempurna” secara medis atau sosial.

Warih Wisatsana, salah seorang kurator Bali Kandarupa saat diwawancarai pada pembukaan pameran Bali Kandarupa tahun 2024 lalu menyebut karya Loster punya stilistika yang kuat dan narasi personal yang menggerakkan. Ia adalah satu dari segelintir pelukis yang menyajikan pengalaman hidup sebagai tema utama, namun dikemas dengan estetik visual yang cermat dan mengakar pada budaya lokal.

“Kami melihat karya Loster tidak dari latar belakangnya sebagai penyintas, tetapi dari kekuatan visual dan kedalaman pesannya. Itu yang membuatnya istimewa,” katanya.

Menjelang pembukaan Bali Kandarupa dan PKB 2025 , Loster sibuk menyiapkan diri. Ia berlatih berbicara di depan publik, menyiapkan catatan tentang lukisannya, dan merancang kemungkinan lokakarya kecil bersama komunitas seni inklusif. Baginya, keterlibatan dalam pameran ini adalah bentuk keterhubungan kembali dengan masyarakat.

“Saya ingin orang tahu bahwa skizofrenia bisa pulih. Dan kalau sudah pulih, kita bisa berkarya, bisa berkontribusi, bisa bermimpi lagi,” ucapnya penuh arti.

PKB 2025 bukan hanya panggung seni, tapi juga perayaan kebhinekaan dan kemanusiaan. Ketika Loster berdiri di hadapan karyanya pada 21 Juni nanti, itu bukan sekadar momen individu. Ia membawa serta kisah banyak penyintas, harapan dari ruang-ruang sunyi pemulihan, dan semangat bahwa setiap orang punya kesempatan yang layak.

Dalam layangan-layangan yang melayang di langit lukisan itu, ada harapan yang nyata untuk lebih banyak pintu terbuka bagi seni yang inklusif, penuh empati, dan melibatkan semua.

Dan bagi Loster, Bali Kandarupa bukanlah akhir dari perjalanan. Ini adalah awal dari babak baru, saat ia tak hanya kembali ke dunia seni, tapi juga membawa pesan penting, yaitu seni bisa menyembuhkan, dan setiap goresan adalah bentuk kehidupan yang terus diperjuangkan. (KanalBali/Angga Wijaya)

 

Apa Komentar Anda?