Diduga Libatkan Aparat, Polda Bali Diminta Usut Tuntas Dugaan Perdagangan Orang di Benoa

Konferensi pers di Kantor LBH Bali, Senin (8/9) - Foto: KAD
Konferensi pers di Kantor LBH Bali, Senin (8/9) - Foto: KAD

DENPASAR, kanalbali.id – Dua oknum personel Kepolisian Perairan dan Udara Kepolisian (Polairud) di Bali, diduga terlibat kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang korbannya mencapai puluhan orang di Pelabuhan Benoa, Bali.

Siti Wahyatun Kuasa Hukum Korban dari Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (Tangkap) mengatakan, bahwa untuk oknum Polairud yang diduga terlibat TPPO ini berinsial PS dan sudah dilaporkan ke kepolisian Polda Bali.

“Yang kami ketahui dari bukti yang kami terima itu ada dua (oknum polisi). Ada dua orang oknum yang datang ke sana,” kata Siti saat konferensi pers di Kantor LBH Bali, Senin (8/9) sore.

Ia menyebutkan, oknum Polairud ini datang dua kali ke kapal tempat para korban disekap. Pertama tanggal 9 Agustus 2025 dan kemudian tanggal 11 Agustus 2025 bersama para calo yang membawa para calon Anak Buah Kapal (ABK) yang disekap di Kapal Motor (KM). Awindo 2A di Perairan Pelabuhan Benoa.

“Yang pertama itu di tanggal 9 Agustus. Mereka mendata dan memfoto korban satu per satu. Kemudian mereka datang lagi itu tanggal 11 Agustus untuk memerintah. Jadi yang kedua itu dia datangnya sama calo,” ujarnya.

“Calonya membagikan (dokumen) PKL- nya. (Praktik Kerja Lapangan). Dan oknum ini, yang memerintahkan untuk segera menandatangani PKL-nya. Tanpa memberi kesempatan untuk para calon ABK ini untuk membacanya,” imbuhnya.

Sementara, terkait dokumen PKL itu belum sah dan para korban juga baru datang ke KM. Awindo 2A dan di sana para korban ditampung.
.
“Untuk di beberapa kasus itu sebenarnya ditampung di penampungan. Tapi yang kasus ini adalah mereka ditampung di kapal. Jadi mereka belum berlayar, mereka
belum mencari ikan. Karena memang statusnya PKL-nya belum ada, belum sah,” ujarnya.

“Mereka juga jadi masih menunggu. Mereka di kapal ini di area namanya itu Kolam Labu di Pelabuhan Benoa. Jadi dia di laut, agak jauh dari darat. Jadi itu harus menggunakan sampan dan lain sebagainya. Tapi mereka belum berlayar. Jadi mereka berhenti di situ, belum ada aktivitas untuk penangkapan ikan,” lanjutnya.

Para korban berada di KM. Awindo 2A sejak tanggal 8 hingga 15 Agustus 2025. Dan untuk oknum Polairud yang baru dilaporkan satu orang bernisial PS dan setelah itu dilakukan pengembangan ada satu oknum Polairud yang diduga juga ikut terlibat.

“Yang kami laporkan Polairud itu hanya satu Inisial PS. Kemudian dalam proses pengembangan itu juga dipanggil untuk oknum lainnya yang menjadi terduga pelaku. (Satu oknum pelaku ini), dia tidak terlibat secara aktif tapi ada di situ,” kata I Gede Andi Winaba yang juga kuasa hukum korban.

Selain itu, dua oknum Polairud itu mengetahui terkait para korban berada di KM Awindo 2A yang jaraknya dari darat sekitar 10 menit menggunakan dengan perahu jukung.

“Iya karena memakai seragam, memakai identitas kepolisian juga, pada saat proses penampungan di kapal tersebut,” ungkapnya.

Sementara, peran oknum polisi ini dalam kronologisnya yang disampaikan oleh para korban, tugasnya adalah memeriksa identitas para calon ABK, apakah ada calon ABK yang dibawa umur.

“Oknum polisi ini, dia perannya pada saat itu yang disampaikan oleh para korban. Yang juga tercatat berita acara. Mereka itu tugasnya untuk memeriksa identitas para calon ABK ini. Apakah ada yang memang identitasnya tidak sesuai dari KTP-nya. Terutama untuk umur,” ujarnya.

“Apakah ada yang dibawa umur yang sebagainya. Jadi dicek keseluruhan, kalau memang sudah oke. Maka untuk proses pekerjaan sebelum berangkat di atas kapal itu bisa dilanjutkan begitu,” lanjutnya.

Selain itu, berdasarkan keterangan para korban juga, bahwa oknum polisi selain tugasnya mendata para korban, dia juga memerintahkan untuk para korban segera menandatangani PKL-nya.

“Jadi mungkin ini nanti akan ada perkembangan dari kepolisian juga, lebih detailnya mereka ini sebenarnya apa. Kenapa mereka ada di situ dan kenapa mereka yang mendata para calon ABK. Dan juga memerintahkan para calon ABK ini untuk segera menandatangani,” ungkapnya.

Semua korban atau calon ABK ini adalah laki-laki dari usia 18 hingga 47 tahun dan saat itu mereka masih belum berangkat untuk mencari ikan cumi-cumi.

“Tentu untuk kapal cumi ini. Konteksnya pada saat itu masih menunggu keberangkatan. Tentu akan akan berangkat ke tengah dan kurun waktunya itu biasanya bisa mencapai 4 dan 6 atau sampai 10 bulanan di tengah laut,” ujarnya.

Selain itu, dari informasi yang didapatkan bahwa mereka akan berlayar mencari ikan ke Perairan Merauke atau WPP 718.

“Menurut informasi beberapa saksi, mereka diinformasikan oleh nakhoda atau calo, bahwa mereka akan berlayar mencari ikan itu ke Perairan Merauke atau WPP 718. Rencananya akan ke sana,” jelasnya.

Selain itu, kapal tersebut diduga milik perusahaan berinisial AI dan menduga bahwa pihak perusahaan juga ikut terlibat dalam kasus tersebut.

“Secara terang memang itu milik satu perusahaan itu Awindo International. Maka memang kami menduga sangat keras bahwa memang pihak perusahaan turut serta begitu. Karena dalam penampungan di kapal tersebut terang itu untuk nama perusahaannya,” ujarnya.

Winaba juga menyampaikan, kenapa oknum Polairud satu saja dilaporkan ke Polda Bali, karena untuk penanganan lebih cepat dan juga bisa memulangkan para korban.

“Karena memang untuk penanganan perkara ini kami kan usahakan untuk cepat yah. Terutama untuk memulangkan korban. Karena memang untuk (satu) oknum Polairud ini yang secara terang, dilihat oleh seluruh korban itu. Sisanya itu yang lagi satu, itu memang didapatkan ketika proses pengembangan (oleh pihak kepolisian),” ujarnya.

Dalam kasus tersebut, ada 7 orang yang dilaporkan dan untuk saat ini masih dilakukan penyidikan oleh pihak kepolisian Polda Bali. Adapun 21 korban saat ini laporannya telah resmi diterima oleh SPKT Polda Bali pada tanggal 23 Agustus 2025 melalui Surat Tanda Terima Laporan Nomor: STTLP/591/VIII/2025/SPKT/Polda Bali.

Sebelumnya, Ditreskrimum Polda Bali membongkar kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang memakan puluhan korban di Pelabuhan Benoa, Bali.
Sejauh ini, total polisi mendata ada 21 orang yang menjadi korban.

Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Ariasandy mengatakan 21 korban calon Anak Buah Kapal (ABK) itu telah diserahkan kepada Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Proses penyerahan korban ke KKP itu dilakukan Selasa (2/9).

“Untuk dipulangkan ke rumahnya masing-masing,” kata Kombes Ariasandy, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/9).

Kronologi terbongkarnya TPPO ini, awalnya pihak kepolisian mendapatkan informasi pada 29 Juli 2025, di mana ada awak kapal yang memohon evakuasi ke Basarnas. Lalu, Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali melakukan penelusuran dan akhirnya menemukan para korban.

Kemudian, berdasarkan surat perintah penyelidikan melakukan audiensi dengan para ABK KM. Awindo 2A dengan memberikan mereka lembar testimoni rise dan speak yang merupakan program kerja Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Pidana Perdagangan Orang (Dirtipid PPA-PPO) Bareskrim Polri.

Selanjutnya, polisi menemukan sejumlah testimonial yang terindikasi penjeratan utang dan penipuan serta metode perekrutan yang identik dengan memanfaatkan status kelompok rentan. Lalu, polisi menawarkan evakuasi dan banyak dari mereka yang ingin dievakuasi. Namun karena keterbatasan, tim Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali, melakukan evakuasi secara bertahap.

Lalu, saat mereka berada di Mapolda Bali dilaksanakan pemeriksaan secara intensif, dan para ABK atau korban ini rata-rata berusia 18 hingga 23 tahun. Dari pengakuan para korban, bahwa tanda pengenal seperti KTP hingga ponsel telah dirampas oleh pelaku. Selain itu, mereka dipaksa bekerja tanpa kontrak kerja dan kepastian hak atau jaminan kerja dan tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

Selain itu, mereka hanya diberi makan enam bungkus mie yang jika dibagi untuk para korban dan masing-masing hanya mendapatkan dua sendok mie saja. Mereka juga terpaksa minum air tawar mentah yang diambil dari palka penyimpanan kapal.

Selama di kapal mereka tanpa penerangan atau gelap dan disekap dengan akses yang sulit dijangkau dari daratan atau posisi kapal sedang labuh di tengah Perairan Pelabuhan Benoa

“Adapun kondisi korban sesuai dengan lembar testimoni yang sudah ditulis, merasa takut, kecewa, merasa ditipu, tidak mampu melawan, ingin diselamatkan, rindu keluarga, ingin pulang, khawatir dicelakai apabila kapal sudah meninggalkan Pelabuhan Benoa,” ujar Ariasandy.

Kasus TPPO berkedok perekrutan ABK ini berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa, dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Jabodetabek. Modus penipuan untuk merekrut ABK yang ternyata TPPO itu adalah lewat media sosial. Korban yang terpengaruh lalu dijemput pelaku dan dibiayai perjalanannya lalu dikumpulkan di sebuah tempat di Pekalongan, Jawa Tengah.

Setelahnya, mereka dibawa ke Pelabuhan Benoa Dalam kasus ini belum ada tersangka, dan pihak kepolisian masih melakukan penyidikan dan kasusnya akan diselesaikan sampai tuntas.

“Untuk pemilik masih dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan, peran- peran terjadinya TPPO masih berlangsung secara marathon,” ujar Ariasandy. (kanalbali/KAD)

Apa Komentar Anda?