Hipotermia bukan Penyebab Tewasnya Pendaki Rinjani dari Brasil, Simak Penjelasannya

Pendaki asal Brasil Juliana Marins - Instagram
Pendaki asal Brasil Juliana Marins - Instagram

DENPASAR, kanalbali.id – Hipotermia bisa dikaitkan dengan kematian para pendaki gunung yang pastinya berada dalam lokasi di ketinggian. Namun, kematian pendaki asal Brasil Juliana Marins di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, dipastikan bukan karena gejala itu.

Dokter Spesialis Forensik Rumah Sakit Bali Mandara, dr Ida Bagus Putu Alit menerangkan, bahwa otopsi jenazah yang dikaitkan dengan hipotermia sudah tak bisa dilakukan.

“Kalau hipotermia itu adalah kita memeriksa di cairan bola mata. Nah di sana karena jenazahnya sudah lama, itu jadi kita tidak bisa periksa hipotermia tersebut,” kata dia, di RS Bali Mandara, Denpasar, Bali, Jumat (27/6).

Namun dia menjelaskan, untuk tewasnya seseorang karena hipotermia itu perlu waktu yang lama untuk orang itu meninggal dunia. Karena, di dalam suhu tubuh orang itu ada termoregulator yang mengatur suhu tubuh.

“Jadi kalau seandainya hipotermia, itu memang memerlukan waktu yang lama sampai orang itu meninggal. Karena di otak kita ada termoregulator namanya, itu yang mengatur suhu tubuh. Jadi kalau seandainya suhunya dingin, tubuh itu mengaturnya. Jadi untuk hipotermia itu dalam relatif yang lama,” imbuhnya.

Relatif lama itu juga tergantung suhu tubuh seseorang untuk menahan hipotermia dan dalam pemeriksaan tidak ada tanda-tanda korban tewas juga karena hipotermia.

“Tanda-tanda adanya hipotermia itu luka-luka yang ditimbulkan dari hipotermia tidak ada. Jadi luka-luka yang ditimbulkan oleh hipotermia itu adalah luka pada ujung-ujung jari. Jadi lukanya berwarna hitam, ini tidak ada luka. Berarti bisa kita katakan bahwa tidak ada hipotermia,” ungkapnya.

Adapun Julianan tewas karena kekerasan atau benturan tumpul dan mengalami luka-luka serta pendarahan yang banyak dan korban bisa bertahan paling lama 20 menit dan meninggal dunia.

” Yang saya dapatkan adalah fakta maka saya sampaikan di awal bahwa tidak ada bukti yang kita dapatkan bahwa korban ini meninggal dalam waktu yang lama dari lukanya. Seperti yang saya bilang tadi, di otak tidak ada herniasi,” ujarnya.

Kemudian juga dibagian spleen atau limpah itu tidak mengerut dan masih menyimpan darah. Sehingga dapat disimpulkan korban meninggal dunia bukan dengan jangka waktu yang sangat lama, tetapi setelah beberapa menit kejadian korban meninggal dunia.

“Artinya masih menyimpan darah. Kalau seandainya darah itu keluar sedikit-sedikit dia akan dikeluarkan. Sehingga organ itu akan mengerut. Ini tidak dapat ditemukan. Berarti saya simpulkan tidak ditemukan adanya tanda-tanda orang ini meninggal dalam jangka waktu yang lama dari lukanya. Artinya dalam jangka waktu yang dekat orang itu meninggal,” ujarnya.

“Kalau kita lihat penyebabnya yang langsung itu pasti kekerasan. Jadi kita juga melihat adanya pendarahan yang memang jumlahnya sudah begitu besar dalam rongga tubuhnya. Jadi yang menyebabkan langsung itu adalah kekerasannya, jadi benturannya,” ujarnya.

Sementara, pendarahan yang paling banyak di tubuh korban ada di bagian rongga dada dan kekerasan tumpul itu ada dibagian punggung.

“Jadi pendarahan yang paling banyak itu ada di rongga dada. Karena kekerasan itu ada di punggung. (Di otak) tidak banyak kelainan, cuma ada pendarahan sedikit,” ujarnya. (kanalbali/KAD)

 

Apa Komentar Anda?