Koperasi Merah Putih dan Tantangan untuk Politik Ekonomi Komando

Ilustrasi: Koperasi Merah Putih - IST
Ilustrasi: Koperasi Merah Putih - IST

Penulis: I Made Pria Dharsana

Poltik ekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan lahir dari kesadaran bahwa kemerdekaan politik tidak akan bermakna tanpa kedaulatan ekonomi.

Selama masa penjajahan, tanah, sumber daya alam, dan tenaga kerja Indonesia hanya menjadi instrumen eksploitasi kolonial. Atas dasar itulah, para pendiri bangsa merumuskan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Asshiddiqie, 2010: 221).

Prinsip tersebut melahirkan gagasan politik ekonomi komando.

Dalam konsep ini, negara memiliki otoritas utama untuk mengarahkan pembangunan, mengatur distribusi sumber daya, dan memastikan aktivitas ekonomi berjalan sesuai cita-cita nasional. Konsep ini jelas berbeda dari sistem ekonomi liberal yang menyerahkan sepenuhnya mekanisme ekonomi kepada pasar (Samuelson, 1992: 144).

Dalam kerangka politik ekonomi komando, koperasi menempati posisi penting.

Bung Hatta menyebut koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional, sebab koperasi dibangun di atas asas kekeluargaan dan gotong royong yang merupakan nilai inti masyarakat Indonesia (Hatta, 1987: 15). Koperasi bukan sekadar lembaga ekonomi, melainkan wahana pemberdayaan sosial yang menolak logika akumulasi kapital ala kapitalisme.

Seiring perkembangan, gagasan koperasi itu menemukan artikulasinya dalam bentuk koperasi merah putih. Koperasi ini tidak hanya berfungsi sebagai lembaga simpan pinjam atau usaha bersama, melainkan menjadi instrumen politik ekonomi yang berlandaskan nasionalisme.

Koperasi merah putih menegaskan identitas kebangsaan dan menjadi benteng terhadap penetrasi kapitalisme global maupun dominasi konglomerasi domestik (Swasono, 2005: 72).

Membaca situasi terkini dijagat media, Program Koperasi Merah Putih sepertinya menjadi arena perdebatan antara media kritis dan para ekonom.

Penulis mencoba menganalisis apa yang ditulis oleh media Tempo, terdapat penekanan bahwa proyek ini lebih sarat dimensi politik dibandingkan substansi ekonomi.

Tempo menilai proyek bernilai Rp 400 triliun dengan target 80 ribu koperasi berpotensi menjadi “public gamble” yang rentan penyalahgunaan (Tempo, 27 April 2025).

Video analisis Tempo bahkan menggarisbawahi risiko tingginya karena program dibangun melalui mekanisme Inpres yang cenderung top-down, membuka peluang mis-target bantuan dan dominasi kepentingan elit (Tempo, Juni 2025).

Namun, di sisi lain, ekonom dan tokoh publik menyoroti potensi positif koperasi ini. Aviliani (2025) menekankan koperasi merah putih harus diperluas menjadi pusat produksi dan distribusi agar benar-benar menopang ekonomi rakyat.

Nailul Huda (2025) mengingatkan manfaatnya bisa temporer bila tanpa model bisnis berkelanjutan. Pranjul Bhandari (2025) melihat potensi besar koperasi desa dalam menjangkau sektor informal yang selama ini sulit diakses lembaga formal.

Tokoh politik dan masyarakat pun memberi apresiasi: Eddy Soeparno dan Zulkifli Hasan melihat koperasi ini bisa memotong rantai tengkulak; KH Masduki Baidlowi (2025) menilainya sebagai manifestasi ekonomi Pancasila; sementara Erick Thohir menekankan bahwa masa depan koperasi nasional ditentukan oleh keberhasilan implementasi program merah putih ini.

Dengan demikian, terdapat kontras tajam antara kritik Tempo yang menyoroti risiko politik dan finansial dengan optimisme ekonom yang melihat peluang pemberdayaan ekonomi rakyat, selama syarat keberlanjutan dan tata kelola dipenuhi.

Di satu sisi, koperasi merah putih hadir sebagai alternatif atas neoliberalisme yang mendorong deregulasi, privatisasi, dan perdagangan bebas. Model neoliberal terbukti memperlebar jurang kesenjangan dan melemahkan peran negara dalam melindungi rakyat kecil (Chomsky, 1999: 33).

Di sisi lain, koperasi merah putih memungkinkan terjadinya distribusi ekonomi yang lebih adil, misalnya dengan menjaga stabilitas harga bahan pokok, memperpendek rantai distribusi, serta menyediakan akses permodalan murah bagi masyarakat yang terpinggirkan dari sistem perbankan.

Meski demikian, implementasi koperasi merah putih tidaklah mudah. Banyak koperasi di Indonesia hanya berdiri di atas kertas tanpa aktivitas nyata.

Penulis Made Pria Dharsana - IST
Penulis Made Pria Dharsana – IST

Tidak sedikit pula yang terseret ke dalam politik praktis, menjadi alat mobilisasi elektoral ketimbang wadah pemberdayaan ekonomi rakyat. Selain itu, keterbatasan modal, kurangnya transparansi, dan rendahnya kapasitas manajerial membuat koperasi sulit bersaing dengan perusahaan kapitalis yang memiliki jaringan kuat dan modal besar (Kleden, 2015: 54).

Tantangan semakin berat ketika memasuki era ekonomi digital. Struktur ekonomi global kini ditandai dengan dominasi platform digital, e-commerce, dan fintech yang mempercepat arus barang, jasa, dan modal.

Di satu sisi, kondisi ini membuka peluang bagi koperasi untuk bertransformasi, misalnya dengan membangun marketplace sendiri, mengembangkan fintech koperasi, dan mengadopsi prinsip ekonomi hijau yang kini menjadi tuntutan global (BPS, 2023). Namun di sisi lain, tanpa reformasi kelembagaan, koperasi merah putih justru berisiko semakin tertinggal.

Berbagai ekonom kontemporer memberikan catatan kritis dan optimis mengenai koperasi merah putih. Aviliani dari INDEF menekankan bahwa koperasi tidak boleh terjebak pada peran simpan pinjam semata, melainkan harus menjadi pusat produksi dan distribusi, sebagaimana koperasi di Jepang yang mampu menopang sektor pertanian hingga perdagangan internasional (Aviliani, 2025).

Nailul Huda dari Celios mengingatkan bahwa manfaat koperasi merah putih bisa bersifat temporer apabila tidak disertai dengan model bisnis yang berkelanjutan (Huda, 2025).

Sementara itu, Pranjul Bhandari dari HSBC menilai koperasi desa berpotensi memperluas inklusi ke sektor informal yang sulit dijangkau oleh lembaga formal (Bhandari, 2025).

Pandangan tersebut juga diperkuat oleh tokoh politik dan masyarakat. Eddy Soeparno dan Zulkifli Hasan menekankan koperasi sebagai ekosistem ekonomi desa yang dapat memotong rantai tengkulak dan menjaga harga tetap stabil. KH

Masduki Baidlowi dari MUI menyebut koperasi merah putih sebagai manifestasi ekonomi Pancasila yang berada di antara kapitalisme dan sosialisme (Baidlowi, 2025). Erick Thohir menekankan keberhasilan program koperasi merah putih sebagai penentu masa depan koperasi di Indonesia.

Refleksi dari berbagai pandangan itu menunjukkan bahwa koperasi merah putih bukan hanya institusi ekonomi, melainkan simbol ideologis sekaligus instrumen politik ekonomi komando.

Tantangan terbesar terletak pada kemampuan koperasi untuk bertransformasi sesuai konteks zaman.

Jika mampu menjadi koperasi digital, koperasi hijau, dan koperasi global, maka koperasi merah putih berpeluang besar menjadi wajah baru kedaulatan ekonomi Indonesia di tengah arus globalisasi, bukan koperasi papan nama seperti koperasi yang ada selama ini yang sama dibentuk bukan dari kebutuhan bersama masyarakat tetapi dibentuk top down. (kanalbali/IST)

Apa Komentar Anda?