
DENPASAR – hampir 3 bulan ditiadakan, ibadah salat Jumat akhirnya digelar kembali di Masjid Baiturrahman, Dusun Wanasari, Denpasar pada pekan lalu. Bedanya, kini setiap jamaah harus menjalani cek suhu sebelum masuk ke dalam masjid. Posisi duduk dan sembahyang pun diatur agar ada jarak antara satu orang dengan yang lain.
“Jadi jumlah orang yang datang dibatasi dan jauh lebih sedikit supaya tak berdesakan, mungkin hanya 20 % saja,” kata H. Junaidi (60), Ketua Yayasan Masjid Baiturrahman. Bila kapasitas telah dipenuhi, pintu masjid akan ditutup dan mereka yang datang terlambat dipersilahkan untuk bersembahyang di rumah.

Prosedur tanggap situasi COVID-19 itu harus dilakukan di masjid ini meski adalah salah-satu masjid terbesar di Bali dan berada di perkampungan padat penduduk yang hampir seluruh warganya beragama Islam. “Mau apa lagi, ini demi keselamatan kita bersama,” ujarnya.
Pandemi corona memang merubah kehidupan warga, termasuk dalam beribadah. “Begitu virus diberitakan masuk ke Indonesi, kami langsung menyesuaikan diri,” sebut Junaidi. Ia ingat persis pada 2 Maret 2020, menyaksikan program berita di salah satu stasiun TV Swasta. Anehnya, hampir seluruh TV Indonesia kala itu menyiarkan hal sama: virus corona telah masuk ke Indonesia.
Hal pertama yang ia pikirkan tentu ancaman kesehatan bagi seluruh jamaah yang biasa melangsungkan aktifitas rutin di Masjid yang terletak di kawasan muslim terbesar di Bali itu. Mulanya disepakati aktifitas berjalan sebagaimana biasanya karena belum ada bukti virus masuk ke Bali. Sepekan kemudian, pada Rabu 11 Maret 2020 semuanya mulai berubah. Achmad Yurianto, yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai juru bicara penanganan kasus corona, mengumumkan kematian pasien positif COVID-19 yang teridentifikasi seorang WNA di Bali.

Kasus kematian itu akhirnya direspon oleh Pemerintah Provinsi Bali. Sekretariat Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dewa Made Indra, membenarkan bahwa pasien nomor 25 yang positif virus corona tersebut dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP ) Sanglah Denpasar dan telah meninggal.
Kabar kematian pasien nomor 25 itu segera merembet ke ruang-ruang grup percakapan WhatsApp para keluarga di Bali, tak terkecuali Junaidi. Kewaspadaan itu bukan tanpa alasan, sebab saat itu, seluruh kegiatan di Masjid Raya Baiturrahman seperti Tahlil, Pengajian Kitab, Kiroah, Tafsir, dan Kuliah Subuh hampir semuanya melibatkan banyak orang.
Pada Jumat 20 Maret 2020, angka kasus positif COVID-19 di Bali meningkat menjadi 4 kasus positif. Di hari yang sama, Gubernur Bali Wayan Koster memutuskan untuk mengeluarkan surat edaran belajar, bekerja dan ibadah dari rumah, serta menutup seluruh objek wisata baik yang dikelola Provinsi hingga Kabupaten atau Kota yang ada di Seluruh Bali.
“Awalnya masyarakat mayoritas tidak menghendaki penutupan masjid, tapi kami dari pengurus menjelaskan secara perlahan bahwa penutupan tempat ibadah tidak hanya terjadi di Bali, tapi terjadi hampir seluruh Indonesia dan dunia. Akhirnya mereka memaklumi,” tuturnya.
“Lafal adzan yang di dalamnya ada ‘hayya ala sholah’ menjadi ‘alaa sholluu fii rihaalikum’ yang artinya ‘ingatlah shalatlah kalian di tempat tinggal kalian’ dan itu dilafalkan dua kali dalam bacaan adzan,” kenang Junaidi.
Saaat tiba Hari Raya Idul Fitri, aktifitas keagamaan masyarakat di Dusun Wanasari masih sama seperti biasanya, Shalat Idul Fitri dilakukan dirumah masing-masing yang hanya melibatkan anggota keluarga, silaturrahmi yang biasa dilakukan, dilangsungkan melalui sambungan telepon dengan anggota kerabat yang jauh.

Apa yang terjadi pada Masjid Raya Baiturrahman, juga terjadi di salah satu Masjid besar lainnya yakni Masjid Annur Sanglah, Denpasar. Hanya saja, Masjid yang terletak di jantung Kota Denpasar itu lebih kesulitan menjalani proses adaptasi lantaran berasa di wilayah urban.”Kita jauh lebih karena posisinya ada di wilayah yang bukan penduduk muslim,” kata Ketua Yayasan Masjid Annur Denpasar, Musa Husin saat ditemui pada Kamis (25/6).
“Masjid ini kan terletak di jalan besar, jadi mayoritas masyarakat yang singgah dan melangsungkan shalat itu bukan meraka yang tinggal di sekitar sini, jadi walaupun sudah ditutup, ada saja masyarakat yang sempat singgah,” ujarnya. Menyiasati itu, pengurus masjid kata Musa memilih untuk menutup rapat-rapat pintu masuk menuju masjid sejak april lalu. Setelah penutupan itu, pihaknya mengaku hanya memperbolehkan pengurus masjid yang bertugas mengumandangkan adzan.
Ia berharap, situasi ini akan berakhir sampai akhirnya akan normal kembali. “Bagaimanapun kita lebih suka ibadah bersama-sama, apalagi begitu pula dalam ajarannya. Kita harap ini semua hanya sementara,” harapnya. ( kanalbali/Ach Fawaidi )