Saat Ombak Pantai Kuta Memanggil Kembali

Pembuat papan surfing ini memulai usahanya setelah Pantai Kuta dibuka kembali untuk wisatawan - IST

Muhammad Hafi Am dengan langkah hati-hati menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu. Ia baru saja terbangun dari tidur siang di kamar berkonsep rumah panggung yang dibangun tepat di atas workshop pembuatan papan surfing miliknya. 

Sore itu, ia baru saja beristirahat setelah dari pagi menggarap papan surfing pesanan pelanggannya. Pria berusia 50 tahun itu kini tampak kembali sumingrah, setelah lima bulan tak ada orderan sebaga imbas pandemi COVID-19.  “Sejak ada pandemi, pantai ditutup, tamu (turis) juga nggak ada. Jadi nggak produksi,” kata Hafi. 

Beruntung, sejak pantai mulai dibuka, Hafi mulai punya kesibukan. Beberapa pelanggannya datang, walau sekedar untuk memperbaiki papan surfing mereka yang rusak.” Orderan, sudah mulai ada,” kata Hafi, saat ditemui di rumah produksi papan surfingnya.

Sebelum pandemi, pembuatan papan surfing adalah salah-satu industri rumahan yang lumayan besar di Kuta – KAD

Rumah produksi papan surfing milik Hafi tidak terlalu besar, berlokasi di Jalan Kediri, Gang Mandiri 11, Nomor 10X, Kecamatan Kuta, Badung, Bali. Di rumah produksinya beberapa papan  surfing yang selesai digarap tampak berjajar.

Seorang karyawan tampak  sibuk menyervis sebuah papan selancar. “Selama pandemi, tidak ada sama sekali karyawan. Saya pulangkan semua. Sekarang cuma ada satu orang,” kata Hafi yang sebelumnya mempekerjakan lima orang karyawan. 

Pria asal Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur ini, sudah menekuni kerajinan membuat papan surfing sejak 2003. Kerja kerasnya membuahkan hasil hingga ia menjadi pemilik workshop pembuatan papan surfing Rezeki Selancar Jaya. 

Jatuh bangun usaha telah dijalani ayah tiga anak ini selama bertahun tahun. Namun ia mengakui, imbas pandemi COVID-19 cukup berat baginya. Untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan rumah tangga, kerja serabutan pun dijalani Hafi.

Mulai dari menjadi kuli bangunan, berjualan ikan dan usus ayam, juga berjualan jamu. Untuk memasarkan produk usus ayam goreng dan jamu buatanya, Hafi biasa menitipkannya ke warung warung di sekitar rumahnya. “Saya juga menjual papan-papan yang sudah bekas, stok-stok yang tidak diambil. Iya apa saja, yang penting halal,” ungkapnya. 

Hafi juga menuturkan, bila hari normal sebelum pandemi Covid-19 pesanan papan surfing sekitar puluhan dan kadang ratusan. Namun dikerjakan selama tiga bulan. Sementara, untuk pesanan papan selancarnya mulai dari orang lokal serta luar negeri. 

Produk papan surfingnya dijual dengan kisaran harga yang beragam, mulai dari Rp 2,7 juta hingga Rp 7 juta. Harga ditetapkan berdasarkan ukuran dan kualitas bahan. 

Meski tak banyak, namun hasil dari memperbaiki papan papan surfing rusak lumayan menambah penghasilannya belakangan ini. Setidaknya, hasilnya masih bisa ditabung untuk membayar sewa workshopnya. 
“Kalau di hari normal cukup untuk banyar kontrakan dua tahun sekali. Tapi, untuk sekarang saya tidak tau, karena orderan sudah sepi. Harapan saya, biar ini cepat berlalu. Kita hanya bisa menunggu dan kembali seperti semula,” ujar Hafi.

Situasi yang sama, juga dirasakan oleh Julius Tumanggoro (32) yang memiliki tempat penyewaan papan selancar di kawasan Pantai Kuta, Bali. Pria asal Medan, Sumatera Utara ini sudah tiga tahun lamanya menyewakan papan selancar serta mengajari wisatawan yang ingin berselancar di Pantai Kuta. Ia mengaku, sudah lima bulan tak ada turis yang menyewa papan surfingnya. 

“Kalau sekarang pemasukan turun 100 persen. Sudah lima bulan tidak ada sama sekali yang menyewa papan surfing,” kata Julius, saat ditemui di Pantai Kuta, Bali.

Julius mengaku, sejak ditutupnya Pantai Kuta dirinya sampai saat ini belum membuka lapak penyewaan papan surfingnya. Kini, dirinya menjadi penggangguran dan hanya mengandalkan sisa tabungannya untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.”Hidup dari simpanan saja, dan ada teman-teman ngasih bantuan untuk bertahan hidup,” imbuhnya. 

BACA JUGA :

Peselancar yang sekaligus Chief Editor Media surfing Magicwave, Bagus Made Irawan, menyebut pandemi COVID-19 berdampak sangat besar pada industri surfing di Bali. Ia menyebut, para pemilik usaha penyewaan papan surfing maupun sekolah sekolah surfing telah babak belur akibat tidak adanya wisatawan. 

“Iya, babak belur begitu pesawat luar negeri tidak ada yang datang karena COVID-19,” ujar Irawan yang akrab disapa Piping.  Menurutnya, untuk saat ini sebagian besar para pemilik dan karyawan usaha penyewaan papan surfing atau sekolah surfing telah kembali ke daerah asalnya. Pasalnya, tidak ada lagi yang bisa dikerjakan selama pandemi. 

Namun, ada juga beberapa karyawan yang bekerja di sekolah surfing masih  bertahan. Biasanya mereka ditanggung oleh bosnya yang cukup mapan. “Karena, bos-nya ada yang beberapa cukup mapan. Dari satu sekolahan iya paling satu atau dua (bertahan),” kata Piping. Biasanya, kata dia, satu sekolah surfing memiliki sekitar 10 hongga 15 karyawan. 

Papan surfing terpaksa diamankan karena tidak ada penyewa atau pembeli _ KAD

Ia juga menyampaikan, bahwa para karyawan persewaan papan surfing atau pelatih surfing bisa mendapat pemasukan sekitar  Rp 200 ribu hingga Rp 800 perhari. “Begitu, tidak ada tamu kan nol. Daripada bengong mending pulang kampung dan bisa mengerjakan sesuatu,” ujarnya.

Piping memperkirakan saat ini ada ribuan orang di seluruh Bali yang menggantungkan hidup dari surfing, mulai dari penyewaan papan surfing hingga sekolah surfing. Mereka tersebar dari Pantai Medewi Kabupaten Jembrana hingga Pantai di Tabanan, Badung, Denpasar, Gianyar, dan Klungkung “Tapi, pantai yang paling banyak titik ombaknya ada di Kabupaten Badung,” kata Piping.  ( kanalbali/KAD )