Siasat Petani di Tabanan, Bali, Bertahan di Musim Pandemi

Mencuci tangan jadi kebiasaan baru petani di Desa Babahan, Penebel, Tabanan, Bali - NWA

HAMPARAN padi di persawahan Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Tabanan, telah menguning. Itu pertanda masa panen di depan mata. Meski begitu, warna hijau masih terlihat di beberapa sudut area di sekitar persawahan itu. “Itu sayur sayuran,” kata I Made Kustika, salah seorang petani, saat ditemui akhir pekan lalu.

Sudah sejak beberapa bulan terakhir, Kustika dan beberapa petani di Desa Babahan memutuskan untuk menanam berbagai jenis sayur mayur. Mereka memanfaatkan lahan yang agak kering di pinggiran sawah. Ada beragam jenis yang tumbuh berselang seling, diantaranya kangkung, kacang panjang, cabe dan beragam jenis sayur lainnya. “Ternyata hasil dari sayuran ini lumayan. Setiap dua hari sekali bisa panen 10 kilogram,” kata Kustika yang mengelola lahan seluas 30 are.

Ide menambah jenis tanaman, selain padi merah yang menjadi andalan utama, hadir di benak Kustika sejak pandemi COVID-19 melanda. Bermula dari usahanya untuk bisa menambah penghasilan, ia mendapatkan masukan untuk merubah pola tanam. Ia pun jatuh cinta untuk bercocok tanam sayuran karena waktu panen yang jauh lebih pendek dan memanfaatkan lahan yang selama ini tidak produktif.

“Dalam satu setengah bulan aja, tanaman seperti buncis dan kacang panjang sudah panen. Tidak seperti padi yang harus menunggu selama 6 bulan,” ujar Kustika. Agar terus berproduksi, ia bisa mengatur jarak waktu tanam.

Langkah pria yang juga Ketua Kelompok Tani Dwi Mekar itu diikuti beberapa petani lainnya. Separuh dari petani di kelompoknya kini juga mempraktekkan sistem pertanian yang biasa disebut tumpang sari itu. “Anggota di kelompok kami ada 18 orang. Lima puluh persen diantaranya sudah buat tumpang sari, termasuk saya. Anggota lain mungkin nyusul setelah melihat hasilnya,” ujar Kustika lantas tertawa.

Lahan yang dikelola Kelompok Tani Dwi Mekar seluas total 18 hektar. Sebagian besar masih ditanami padi sebagai penghasil utamanya. Masing-masing petani rata-rata mengelola 10 sampai 30 are.

“Tumpang sari itu kini menjadi sebuah keharusan. Kalau monokultur atau menanam satu jenis tanaman saja rawan kena hama. Kalau tumpang sari, itu selain menjaga lingkungan, juga untuk menjaga ketahanan pangan,” ujar Nyoman Artha, Ketua Koperasi Tani Bali Jagadhita, yang memulai perubahan cocok tanam dan menularkan idenya pada Kustika.

Baginya, menanam secara multikultur sangat menguntungkan para petani. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, juga dapat menjadi sumber pendapatan secara berkesinambungan. Koperasi Tani Bali Jagadhita merupakan tempat pengolahan pupuk dan pembibitan oleh dan untuk petani. Koperasi ini mendampingi ratusan petani, termasuk kelompok Tani Dwi Mekar.

“Kami menyediakan hulu dari pertanian itu, yaitu pupuk yang baik dan bibit yang berkualitas,” ujar Anak Agung Putu Darmayasa selaku manager Koperasi Tani Bali Jagadhita saat ditemui di lokasi pembibitan di Banjar Ambengan, Desa Gubug, Tabanan. Agung menjelaskan, petani Bali harus didorong untuk menjadi petani mandiri. Selain melalui sistem pertanian tumpang sari yang mendorong petani lebih produktif, menyetop ketergantungan petani pada industri juga diperlukan.

Untuk itu, Koperasi Tani Bali Jagadhita membuat sebuah laboratorium untuk pembuatan benih, bibit dan pupuk organik oleh dan untuk para petani. Pada masa pandemi ini, laboratorium ini sangat bermanfaat kepada para petani karena dapat menekan biaya operasional itu sendiri. Makanya petani diajarkan untuk mandiri untuk membuat bibit, benih dan pupuk sendiri.

Selain persoalan bibit, di lahan laboratorium seluas 2 hektar itu juga dilakukan penelitian untuk mengubah lahan yang sudah rusak atau tingkat keasamannya tinggi menjadi subur kembali dengan biaya sekecil mungkin.”Di masa pandemi ini, saya justru bersyukur karena banyak teman-teman petani yang mau bertanya. Semakin banyak petani mau mencoba. Saat pandemi, terobosan baru harus banyak dilakukan oleh para petani,” ujarnya.

Baginya, pertanian Bali akan sangat kuat jika para petani mandiri dan berdaulat. Masa pandemi, menurut Agung, adalah saat yang tepat membangkitkan kembali kejayaan petani Bali.(kanalbali/Wayan Antara)