
Keberagaman organisasi advokat seperti takdir yang tak bisa ditolak. Tapi ada keinginan profesi ini disatukan dalam Kode Etik dan Mahkamah Kehormatan Tunggal.
Seorang advokat senior pernah mengungkap cerita. Kini persaingan di dunia pengacara makin menggila. “Dulu jaman saya, biaya dan honor perkara perceraian disepakati di awal sampai selesai,” ujarnya. Sekarang ini, demi meraih klien, ada yang berani mematok biaya jauh lebih rendah tapi kemudian dalam perjalanan ada banyak lagi tambahan biaya,
Ada juga kasus dimana klien merasa ditelantarkan. Padahal sudah banyak uang yang dikeluarkan dan diminta memenuhi kebutuhan advokat . Atau sebaliknya, ada pengacara yang merasa direbut kliennya oleh pengacara lainnya setelah bekerja keras memperjuangkan kasusnya.
Siapa yang harus mengatur masalah-masalah seperti ini.?. Semestinya, organisasi advokat yang bisa melakukan. Tapi faktanya, dengan keberagaman organisasi saat ini, maka seorang pengacara yang dikenai sanksi karena pelanggaran etika bisa saja berpindah ke organisasi yang lain.

“Kalaupun ada pencatatan ke Pengadilan Tinggi di satu daerah mungkin tak dikomunikasikan ke daerah lain sehingga dia tetap bisa bersidang disana,” kata tokoh Asosiasi Advokat Indonesia, Robert Khuana.
Situasi saat ini memang mengesankan setiap organisasi memiliki kode etik dan dewan kehormatannya sendiri. Padahal sebenarnya, kode etik tunggal sudah pernah dibuat dan dirumuskan dengan sebutan ‘ Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI)’ yang bahkan telah ditetapkan sebelum diberlakukannya UU Advokat tahun 2003.
Nah, yang jadi masalah, setelah terjadinya gonjang-ganjing di tubuh Peradi yang berujung berdirinya organisasi advokat baru serta aktifnya kembali berbagai organisasi seperti AAI, memperkuat kode etik ibarat menegakkan benang basah. “Karena itu, AAI dalam Rakernas mendorong adanya Dewan Kehormatan Tunggal, meski organisasi advokat bersifat multi bar,” sebut Khuana.

Menurut Ketua Peradi DPC Denpasar, Wayan Purwita, pembentukan Majelis Kehormatan tunggal advokat Indonesia malah bukan sekadar wacana semata karena sudah ada aksi dengan pertemuan sejumlah pimpinan pusat organisasi advokat di Indonesia. “Dimotori Ketua Peradi Juniver Girsang dan dari AAI juga hadir sedangkan , ketua DPPPeradi Slipi, pimpinan Hasibuan malah tak hadir padahal diundang juga,”ujar Purwita.
Tujuannya menyusun kode etik tunggal dan memilih hakim ad hoc bila terjadi pelanggaran anggota organisasi advokat. “Dewan kehormatan bersama ini yang akan menangani. Dewan kehormatan bersama ini pula yang menyusun kelulusan calon advokat,” imbuh Purwita.
” Itu bukan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), tapi bertugas menunjuk konsultan ujian profesi advokat nasional, penyelenggaranya tetap organisasi advokat masing masing,”sambung pengacara yang hobi berkebun itu.
Ditambahkan Purwita, ada 11 Organisasi advokat yang sepakat membentuk Kode Etik dan Dewan Kehormatan Advokat Bersama Di Jakarta, pada 19 Desember 2017 lalu. Pada kesempatan itu, ada dua butir kesepakatan dari para pengurus Organisasi Advokat yang hadir. Yakni, penegasan bahwa Kode Etik Advokat Indonesia tanggal 23 Mei 2002 sebagaimana disebut dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat merupakan satu-satunya kode etik yang berlaku dan mengikat bagi setiap Advokat Indonesia.

Kemudian, mereka juga bersepakat untuk membentuk Dewan Kehormatan Bersama Advokat Indonesia. Dewan Kehormatan Bersama ini berfungsi untuk mengadili dugaan pelanggaran atas Kode Etik Advokat Indonesia. Kesepakatan itu ditandatangani 19 orang pengurus dari berbagai Organisasi Advokat di Indonesia. Mereka adalah, Abdul Rahim Hasibuan (Ikatan Pendenganasehat Hukum Indonesia/IPHI), Dr. Ervan Helmi Juni (Asosiasi Advokat Indonesia/AAI), Dr. Frans Hendra Winata (Persatuan Advokat Indonesia/PERADIN), Hasanuddin Nasution (Perhimpunan Advokat Indonesia/PERADI), Ira Eddymurthi Andamara (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia/AKHI), Dr. Juniver Girsang (Perhimpunan Advokat Indonesia/PERADI), Dr. Luhut M.P. Pangaribuan (Perhimpunan Advokat Indonesia/PERADI), Muhammad Ismak (Asosiasi Advokat Indonesia/AAI), Ropaun Rambe (Perkumpulan Advokat Indonesia/PERADIN), Sugeng Teguh Santoso (Perhimpunan Advokat Indonesia/PERADI), Tamiza Saleh (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia/AKHI),Tjoetjoe Sanddjaja (Kongres Advokat Indonesia/KAI), Prof. Dr. Todung Mulya Lubis (Ikatan Advokat Indonesia/IKADIN), Trimedya Panjaitan (Serikat Pengacara Indonesia/SPI), Diarson Lubis (Serikat Pengacara Indonesia/SPI), M. Rasyid Ridho (Ikatan Advokat Indonesia/IKADIN), dan Indra Safitri (Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal/HKHPM).
Kesepakatan itu tentu merupakan harapan baru bagi profesi Advokat di Indonesia untuk mengobati kekecewaan belum masuknya amandemen Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun mendatang. ” Itu di pusat, di daerah sebenarnya tinggal melanjutkan, kalau Peradi bila ada pelanggaran anggota sidangnya di daerah, tidak perlu ke pusat,” tutup Purwita.
Meski seperti menjadi harapan baru, perkembangan ini direspon dingin oleh Ketua DPC Peradi Bali Budi Adnyana yang berafiliasi dengan Peradi versi Fauzi Hasibuan. “Itu justru akan membuat pekerjaan baru, padahal dengan kembali ke rumah, semua persoalan akan selesai,” katanya.
Dia mengingatkan kembali di masa-masa awal Peradi berdiri dan semua organisasi masih menyatu, penegakan kode etik sangat mudah dilakukan dengan sistem peradilan yang berjenjang. “Sehingga masyarakat pun memiliki kepercayaan kepada profesi pengacara,” tegasnya.
Menurutnya, hanya dengan sistem single bar, organisasi advokat akan cukup kuat dan tidak dipandang enteng. “Harus kita sadari, ada kepentingan politis untuk melemahkan organisasi advokat dengan semua carut marut ini,” tegasnya. Tapi bila semua mengacu pada Undang-undang dan mau melihat sejarah, maka bukan hal yang sulit untuk bersatu kembali.
Sekilas nampaknya mudah, tapi menurut Ketua Kongres Advokat Indonesia, Nyoman Sudiantara SH hal itu sangat berat karena adanya egoisme dan berbagai kepentingan. KAI sendiri sejak awal berseberangan dengan Peradi karena pembentukan organisasi idealnya, sebagaimana digagas oleh Adnan Buyung Nasution, adalah melalui Kongres bukan melalui penunjukan.

Dalam situasi sekarang, menurutnya, kode etik dan Dewan Kehormatan tunggal itulah yang paling realistis. Hanya, menurut pria yang akrab disapa Ponglik ini, semua tergantung pengurus pusat organisasi di Jakarta. “Kalau kita di daerah ini pasti akan ikut saja, sumber masalahnya di pusat, kalau disini lebih baik kita akur-akur saja,” sebutnya.
Soalnya rejeki, menurutnya, tergantung garis tangan dan sudah ada yang mengaturnya. Yang penting, tegasnya, advokat tidak melacurkan profesi sehingga profesi yang terhormat ini turun derajatnya sekedar jadi makelar.
Di hadapan penegak hukum yang lain, keberadaan berbagai organisasi advokat tak perlu dikeluhkan dengan anggapan bahwa posisinya akan menjadi lemah. Sebab, integritas dan kualitas pribadi yang akan menentukan tanpa melihat latar belakang organisasi.
“Organisasi baru diperlukan bila memang ada upaya-upaya yang nyata untuk melemahan profesi advokat dengan cara-cara yang melanggar hukum,” tegasnya. Diluar itu, tugas organisasi adalah mendorong anggotanya untuk terus belajar dan meningkatkan profesionalitas.
Humas PT Denpasar, Nyoman Sumaneja menyebut, Keputusan Mahkamah Agung No 73/KMA/HK.01/X/2015 yang sering disebut pendorong perpecahan organisasi advokat bukan tanpa alasan. Itu karena di lapangan, ada banyak kekurangan advokat terutama di daerah-daerah pelosok yang akan lama diatasi bila penyumpahan advokat hanya berdasar rekomendasi satu organisasi. Padahal dalam sejumlah kasus, kehadiran advokat menjadi kewajiban UU.
Mengenai banyaknya organisasi, menurutnya merupakan hak para advokat yang tak bisa diintervensi oleh pihak lain. Sedang soal gagasan kode etik tunggal dan dewan kehormatan, menurutnya, bisa saja dilakukan untuk kebaikan bersama.
Tapi ia sendiri lebih menyoroti soal adanya sistim pencatatan bersama bila ada pelanggaran yang kemudian dicantumkan secara online. “Jadi kalau ada yang melanggar ya muat saja disitu. Khan masyarakat tinggal mengklik untuk mengetahui, mana advokat yang bermasalah dan mana yang tidak,” tegas Hakim kelahiran Singaraja, 24 April 1956 ini. (NAN, RFH)