Biopori Warrior: Tetap Menjaga Bumi Saat Pandemi

Sekelompok anak muda tampak sibuk di dalam Pura Desa Adat Buleleng. Menggunakan sebuah alat sederhana, beberapa lubang dibuat di antara rerumputan hijau lalu ditutup kembali dengan sebuah lempengan beton dengan 4 mata lubang.

“Pemedek bisa membuang sisa sisa canang ke dalam lubang lubang biopori ini. Dalam empat sampai enam bulan, kita bisa panen kompos untuk menyuburkan tanaman di sini,” ujar Gede Suardana, Koordinator Komunitas Biopori Warrior Buleleng.

Di tengah pandemi COVID-19, anak anak muda yang tergabung dalam Komunitas Biopori Warrior Buleleng enggan berhenti bergerak.  Pemasangan biopori di berbagai tempat juga terus dilakukan.  Di tengah berbagai pembatasan dalam COVID-19,  mereka telah memasang ratusan biopori di beberapa pura di wilayah Buleleng, diantaranya Pura Dalem, Pura Desa adat Buleleg, serta Pura Agung Jagadnatha Buleleng.

Bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, komunitas ini juga memasang tak kurang dari 200 biopori di kawasan Desa Sambangan. Biopori-biopori itu dipasang di kantor desa, pura, sekolah hingga rumah kelian. Dalam waktu dekat, juga akan dilakukan pemasangan di Desa Gerokgak. 

“Falsafah kita adalah Tri Hita Karana, yakni hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan sesama manusia.” sebut Gede. Sayangnya,  yang lebih sering dipraktikkan selama ini adalah hubungan harmonis dengan Tuhan. Sedangkan hubungan harmonis dengan alam dan manusia pada praktiknya masih ketinggalan.

“Pada saat sembahyang itu kita menghaturkan bunga, dalam bentuk canang, dalam bentuk banten. Begitu selesai dipersembahkan, masyarakat menganggap bahwa itu sampah,” keluhnya.

Dikatakan, bunga-bunga yang habis dipakai untuk persembahyangan seharusnya tidak dianggap sebagai sampah. Karena konsep sampah adalah sebuah benda yang sudah tidak terkelola. Oleh sebab itu, menurut Gede Suardana, apa yang dipersembahkan kepada Tuhan, setelah selesai persembahan belum bisa disebut sampah. “Dia masih benda yang bermanfaat. Inilah yang harus dimanfaatkan ke biopori untuk dijadikan pupuk organik,” kata Gede.

Pupuk kompos  yang dihasilkan dari lubang lubang biopori tersebut, selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman-tanaman yang ada di areal pura. Kalau di pura banyak pohon jepun, misalnya, dengan pupuk kompos tersebut, jepun akan berbunga dengan lebat.

Bunga-bunga jepun itu  bisa dipakai lagi untuk persembahan kepada Tuhan “Ini merupakan siklus dari filsafah Tri Hita Karana. Satu sisi penghormatan kepada Tuhan, satu sisi penghormatan kepada bumi pertiwi,” tutur Gede Suardana.

Karena biopori punya fungsi untuk resapan air hujan, ujar Ketua KPU Bali itu, tanah-tanah di pura akan menjadi lebih sehat. Orang-orang yang sembahyang di pura tersebut auranya akan bagus karena pelataran pura menjadi sejuk, bersih, dan suci. 

Selain pura, kelompok ini sebenarnya menargetkan rumah tangga. Pasalnya, sampah organik dari limbah rumah tangga selama ini belum terkelola dengan baik. Dengan adanya biopori, sisa-sisa canang, sisa makanan, sisa sayuran atau daun-daunan dari pohon-pohon di rumah itu bisa dimasukkan ke biopori. 

Ia yakin 90 persen sampah rumah tangga dapat dikelola sendiri di rumah dengan biopori. Sehingga hanya tersisa 10 persennya untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPA). “Jika ini bisa masif dilaksanakan di seluruh keluarga di Buleleng atau di Bali, maka sampah organik itu sudah selesai di tingkat rumah tangga. Ini salah satu dari sekian alternatif pengolahan sampah organik, selain komposter atau lainnya,” katanya.

 Pemerhati lingkungan dari Undiksha Singaraja, Ketut Sudiana, juga berpendapat, teknologi biopori sangat sederhana, dan biaya murah. “Tapi manfaatnya luar biasa bagi lingkungan. Antara lain meningkatkan resapan air tanah, sehingga bisa mencegah banjir. Otomatis menyuburkan tanah. Manfaat lainnya, lubang biopori itu bisa diisi sampah organik. Dan mengolahnya menjadi pupuk kompos,” jelasnya.

Karena fungsinya tersebut, Undiksha memilih ikut serta memberikan donasi biopori kepada masyarakat. Donasi biopori diberikan ke Desa Sambangan, karena desa tersebut telah berkembang pesat. Sebagai salah satu daerah penyangga ekologi bagi Kota Singaraja, Desa Sambangan kini justru menghadapi maraknya alih fungsi lahan dari persawahan menjadi perumahan.

Kelian Desa Adat Buleleng Nyoman Sutrisna juga menyambut baik gerakan pembuatan biopori ini. “Harapan saya ke masyarakat agar membuat biopori pada lahan-lahan yang tergenang dan dapat melihara dengan baik serta menerapkan pembuatan pupuk,” kata sutrisna.

Agar pemasangan biopori lebih masif, Gede berharap pemasangan biopori dapat dimasukan dalam regulasi, sebagai prasyarat pembangunan perumahan atau perkantoran. Pihaknya juga mendorong desa adat untuk membuat awig-awig yang memasukkan klausul biopori.

Ya, Gede Suardana ingin semua orang beramal kepada bumi. Dengan memasang biopori. Agar bumi lestari, agar hidup berarti. (Yahya Umar)

Apa Komentar Anda?