Demokrasi Kaki Lima: Ketika Jalanan Menjadi Parlemen Rakyat (2)

Mobil rantis polisi saat keluar dari Polda Bali untuk mengatasi ricuh demo di Bali- KAD
Mobil rantis polisi saat keluar dari Polda Bali untuk mengatasi ricuh demo di Bali- KAD

Penulis: Made Pria Darsana

Fenomena demokrasi kaki lima tidak lepas dari dilema.

Di satu sisi, ia adalah bentuk nyata dari hak konstitusional warga negara: kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat (UUD 1945, Pasal 28E).

Tanpa jalanan, mungkin suara mahasiswa dan masyarakat sipil akan terkubur dalam sepi. Di sisi lain ada partai politik mengagaungkan suara rakyat suara Tuhan, namun entah kemana suara itu menguap tatkala pemilu usai.

Di sisi lain, jika demokrasi kaki lima berlangsung tanpa arah, ia bisa menimbulkan kekacauan. Demonstrasi yang berujung anarkis , ini jadi soal yang sangat penting untuk diantisipasi, demontrasi yang kemudian ditunggangi oleh pihak-pihak yang mempunyai agenda lain, sering menjadi alasan pemerintah untuk menstigma gerakan rakyat sebagai ancaman keamanan (Palupi, 2013: 45).

BACA JUGA: Demokrasi Kaki Lima: Ketika Jalanan Menjadi Parlemen Rakyat (1)

Bercermin kepada demo tanggal 30 Agustus 2025 yang berujung krisruh dan anarkis, pembakaran hampir diseluruh kota besar di Indonesia.  Bahkan muncul tuduhan-tuduhan yang menjurus pada upaya makar oleh kelompok tertentu.

Presiden Prabowo yang menyampaikan disatu kesempatan di Istana Negara, setelah pertemuan dengan pemuka agama dan ketua-ketua partai politik. Di sini letak paradoksnya: rakyat berteriak karena tak didengar, tetapi teriakannya kemudian dianggap mengganggu ketertiban umum.

Jika timbul anarkisme yang berujung pembakaran dan penjarahan rumah-rumah anggota dewan dan pejabat negara mesti dicari pelaku provokator nya dan harus dicari sumber masalah yang menyebabkan demontrasi  terjadi, apa yang disuarakan, point apa yang disampaikan  bukan dibereskan dengan refresif oleh aparat negara yang tujuannya untuk pembungkaman .

Apa yang diperjuangkan para mahasiswa dengan tuntutannya 17+8 pasti tidak mudah dipenuhi oleh parlemen dan pemerintah, paling tidak ada upaya untuk melakukan intriopeksi bahwa ada yang salah dalam pengambl keputusan dan kebijakan pemerintah yang tidak sepenuhnya  berpihak kepada rakyat.

Krisis Kepercayaan pada Pemerintah

Akar utama demokrasi kaki lima adalah krisis kepercayaan. Rakyat kehilangan keyakinan bahwa pemerintah tidak  benar-benar bekerja untuk mereka. Janji kampanye yang tak ditepati, kebijakan yang terasa elitis, hingga korupsi yang merajalela memperkuat keyakinan bahwa ruang formal hanya milik segelintir orang (KPK, 2022: 12).

Ketika ruang aspirasi formal menjadi eksklusif, rakyat membangun ruangnya sendiri. Maka muncullah demokrasi jalanan sebagai cara rakyat menegaskan eksistensinya. Fenomena ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab ia merupakan barometer kesehatan demokrasi itu sendiri.

Semakin banyak rakyat turun ke jalan, semakin besar pula pertanyaan tentang efektivitas lembaga demokrasi yang ada.

I Made Pria Dharsana, Pengamat sosial, hukum dan politik. Tinggal di Denpasar – IST

Refleksi untuk Pemerintah dan Rakyat

Pemerintah tidak seharusnya melihat demokrasi kaki lima sebagai musuh. Sebaliknya, ia adalah alarm yang mengingatkan bahwa ada jurang yang menganga antara penguasa dan yang dikuasai.

Jika pemerintah bijak, aksi massa seharusnya dibaca sebagai masukan untuk memperbaiki kebijakan, bukan sekadar sebagai gangguan lalu lintas. Kebijakan yang dihasilkn dengan pengesahan parlemen yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak pasti akan menimbulkan gejolak apalagi yang berkaitan dengan bahan pokok, kesempatan kerja yang berkurang dan tempat hidup yang layak.

Sementara bagi rakyat, demokrasi kaki lima perlu tetap dijaga dalam koridor konstitusi. Jalanan boleh menjadi ruang perlawanan, tetapi harus tetap bermartabat dan tidak terjebak dalam aksi destruktif.

Karena tujuan utama bukan sekadar melampiaskan kemarahan, melainkan memastikan suara rakyat benar-benar sampai ke telinga penguasa. demokrasi kaki lima mesti dijaga dari adanya penyusup yang dapat menunggangi kemurnian aspirasi, yang menyebabkan pembakaran fasilitas umum, fasilitas negara dan penjarahan.

Hal ini akan mencederai niat murni suara rakyat yang diperjuangkan.

Pada intinya, demokrasi kaki lima adalah cermin dari lemahnya fungsi lembaga perwakilan. Ia lahir dari rasa kecewa, tumbuh dari kekecewaan, dan hidup dari keyakinan bahwa suara rakyat hanya akan didengar jika diteriakkan di jalan.\

Namun, demokrasi seperti ini tidak boleh dibiarkan menjadi normalitas. Demokrasi yang sehat adalah ketika rakyat bisa menyampaikan aspirasi melalui mekanisme formal, sementara pemerintah benar-benar membuka telinga untuk mendengar.

Parlemen jadi saluran yang dapat dipercaya menmperjuangkan aspirasi rakyat bukan hanya memperjuangkan kepentingan dirinya dan elite.

Selama jurang itu masih ada, demokrasi kaki lima akan terus hadir, menjadi tanda bahwa rakyat masih ada dan tak pernah lelah menagih janji. Pertanyaannya: sampai kapan jalanan harus menjadi parlemen rakyat? (kanalbali/IST)

Apa Komentar Anda?