DENPASAR, KANALBALI.ID – Pengakuan UU dan peraturan akan partisipasi ODGJ dalam sepertinya Pemilu sudah cukup baik. Namun dalam masyarakat stigma terhadap ODGJ dalam kaitannya dengan hak politik masih sangat kental. Istilah ODGJ sejatinya digunakan untuk menghapus stigma “gila” di masyarakat.
ODGJ kemudian tetap diidentikkan mereka yang terlantar, dipasung, dan sejenisnya. Padahal, banyak sekali orang yang mengalami gangguan jiwa namun dengan pengobatan yang teratur kemudian dapat berfungsi dengan baik, bekerja dan tidak sedikit ODGJ yang memiliki prestasi mengagumkan.
Bagus Hargo Utomo, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), dalam Forum Diskusi Ilmiah Nasional (FDIN) “Mengamankan Hak Pilih ODGJ dalam Pemilu”, diselenggarakan secara daring pada Rabu, 31 Januari 2024 menyayangkan setiap Pemilu di Indonesia tiba, isu ODGJ seakan “digoreng-goreng” atau digunakan sedemikian rupa untuk menjadikan ODGJ sebagai bahan lelucon, ejekan, bahkan kebencian terhadap ODGJ.
“Di media sosial misalnya, hal itu sangat terlihat. Konten atau komentar-komentar warga tentang ODGJ yang dianggap tidak normal sehingga tidak akan mampu menggunakan hak suaranya. Ini dilakukan tidak hanya oleh masyarakat umum bahkan juga aktivis partai bahkan politisi,” ujarnya.
Padahal, kata Bagus, kondisi ODGJ bermacam-macam. Masyarakat Indonesia masih belum bebas dari pola pikir lama bahwa yang dimaksud dengan ODGJ adalah mereka yang menggelandang di jalanan, dengan tubuh yang kotor bahkan tanpa busana.
“Banyak ODGJ yang bahkan telah pulih yang bahkan tidak terlihat bahwa mereka pernah mengalami gangguan jiwa. Polemik soal ODGJ memilih dalam Pemilu sebaiknya dihentikan karena sebagai warga negara mereka punya hak yang sama dengan warga non-disabilitas,” katanya.
Isu terkini soal ODGJ, tutur Bagus, adalah ODGJ digunakan untuk kepentingan tertentu dalam Pemilu 2024 yakni penggelembungan suara. ODGJ yang ada di jalanan diorganisir, dibuatkan KTP, diberi pakaian untuk nantinya datang ke TPS dan diarahkan untuk memilih calon tertentu.
“Isu ini menyesatkan, Dalam pengalaman KPSI, bagi ODGJ dalam masa pemulihan, untuk diajak keluar rumah untuk berobat ke rumah sakit saja masih sulit, apalagi untuk diorganisir dalam Pemilu. Ini menandakan ODGJ terus-menerus dijadikan obyek berita bohong,” sebutnya.
TULISAN TERKAIT: Hak Pilih ODGJ di Pemilu 2024, Pro Kontra Masih Membayangi
Untuk itu, pihaknya menyerukan kepada seluruh keluarga besar KPSI untuk menentang keras stigmatisasi ODGJ dalam Pemilu. “Kami menyerukan kepada ODGJ dan keluarganya serta simpatisan KPSI diseluruh Indonesia untuk tidak memilih partai, caleg, capres/cawapres yang yang tidak peduli terhadap isu kesehatan jiwa,” ujar Bagus.
Di sisi lain, aturan hukum mengenai hak suara ODGJ di Indonesia kini tumpang tindih. Hal itu berawal dari informasi yang menyebar secara luas bahwa ODGJ yang bisa ikut serta menggunakan hak suara dalam Pemilu 2024 harus menyertakan surat keterangan dari profesional kesehatan jiwa seperti psikolog atau psikiater.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XII tahun 2015 telah merevisi Undang-undang No. 57 ayat 3 yang berbunyi “Pemilih yang terdaftar adalah mereka yang tidak hilang ingatan dan terganggu jiwanya”. Putusan MK menyebutkan bahwa pasal no 57 ayat 3 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.” Sehingga putusan MK ini menjadikan ODGJ berhak memilih tanpa harus menyertakan surat keterangan dokter.
“ODGJ yang telah terdaftar dalam DPT mestinya bisa ikut Pemilu tanpa harus membawa surat keterangan dokter. Apalagi bagi ODGJ yang kondisinya telah pulih. Jika memang benar ada syarat surat keterangan dokter saya melihatnya sebagai sebuah kemunduran,” kata Bagus Utomo.
Ketua KPU Provinsi Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan menyebut tidak adanya aturan keterangan dokter bagi pemilih yang tergolong ODGJ. Ia menjelaskan dalam proses pendaftaran DPT keterangan mengenai disabilitas semua telah didata, termasuk disabilitas mental atau ODGJ. Sehingga pemilih yang termasuk ODGJ dapat datang ke TPS tanpa membawa surat keterangan dokter.
Hanya saja, untuk beberapa kasus khusus seperti TPS di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dokter akan memeriksa dan memastikan terlebih dahulu pemilih ODGJ apakah dalam keadaan sehat, sebelum menuju bilik suara.
“Namanya orang sakit kan bisa kambuh sewaktu-waktu. Jika ODGJ yang datang ke TPS lalu kambuh dan misalkan merobek-robek surat suara, bagaimana? Jadi untuk menyatakan ia sehat dan layak mencoblos adalah pemeriksaan oleh dokter,” kata Lidartawan menjelaskan.
Hal penting lain menurutnya adalah tentang peran keluarga ODGJ yang mengantarkan para penyandang disabilitas mental ini ke TPS. “Jadi keluarga yang menentukan apakah kondisi saat hari-H Pemilu mampu atau tidak untuk memilih. Petugas KPPS di lapangan juga siap membantu jika ODGJ mengalami kendala ketika hendak memberikan suaranya saat hari pencobolosan dengan tetap mengedepankan aturan yang ada,” ucap Lidartawan. (kanalbali/AWJ)
Liputan ini merupakan kolaborasi Independen.id, AJI dengan media penerima beasiswa liputan Pemilu 2024 didukung USAID MEDIA – Internews
Be the first to comment