
DELAPAN remaja lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) terlihat sibuk di sebuah rumah di Banjar Pasar, Desa Yehembang, Mendoyo, Jembrana, Bali. Saat sebagian temannya sedang asyik bermain, sore itu mereka justru sedang menggoreng tempe dan tahu serta membungkus tum ayam. Ada juga yang membuat lawar.
Sejak adanya pandemi COVID-19, praktis mereka yang masih berusia belasan tahun itu tak lagi pergi ke sekolah karena kebijakan belajar di rumah. Rasa bosan yang mendera membuat mereka mencoba mengisi waktu luang.

Mereka kemudian memutuskan untuk membuat usaha bersama, berjualan beragam jenis makanan siap santap. Usaha rumahan itu dilakukan di rumah I Made Agus Ari Putra, 16, akrab disapa aril, salah seorang pencetus ide.
“Awal ada corona, kami khan tidak bisa sekolah dan harus belajar dari rumah. Dari pada main tidak karuan sore hari, kami sepakat buat usaha kecil-kecilan jual makanan jadi. Kebetulan orang tua saya berjualan di pasar, jadi bisa nitip,” ujar Aril saat ditemui di rumahnya.
Usaha yang mereka buat juga untuk meringankan beban orang tua mereka yang yang kesusahan mencari rezeki di mas pandemi covid 19. Paling tidak mereka tidak lagi meminta uang jajan dari orang tuanya.”Syukur kalau bisa mengumpulkan uang untuk membeli seragam saat melanjutkan ke SMA nanti. Jadi tidak perlu minta ke orang tua,” tutur Aril.

Makanan yang dibuat dijual dengan harga yang sama, yakni serba Rp 1.000 per bungkus. Untuk memasarkan, makanan jadi itu dititipkan di beberapa pedagang di pasar desa setempat, termasuk di warung milik orang tua Aril.”Kami mengolah makanan jadi itu mulai sore hari dan baru matang malam harinya. Besok paginya baru kami titipkan di pasar Yehembang untuk dijual,” ujarnya.
Aril menjelaskan, semua proses dilakukan bersama sama dengan pembagian tugas yang jelas. Mulai dari pembelian bahan, pengolahan, sampai pemasaran. Ada yang bertugas meracik bumbu, ada yang bertugas mengiris tempe dan tahu, ada yang bertugas mencincang daging ayam dan bahan lawar. Ada yang bertugas memasak dan membungkus makanan.
Dari mana modalnya?. Mereka urunan dengan sisa uang saku dari orang tua lalu hasil penjualanpun dibagi rata. Rupanya, makanan racikan mereka cukup digemari. Terbukti, seluruh produk dagangan mereka selalu habis setiap hari.
“Tiap hari kami selalu memperoleh pembagian untung bersih rata-rata empat sampai enam puluh ribu rupiah per orang. Lumayan untuk uang jajan, beli pulsa atau kuota internet ,” terang Dewa Catur, salah-satu remaja yang ikut kegiatan ini.

Saat awal membuat usaha makanan jadi tersebut, mereka hanya beranggotakan tiga orang, yakni Aril, Putu Adi dan Dewa Catur . Produksinya pun masih sangat terbatas. Namun karena dagangannya laku dan memperoleh keuntungan, beberapa teman lainnyaikut bergabung. Kini, sedikitnya delapan remaja ikut serta.
Untuk menjalankan usaha ini, mereka tidak menemui hambatan karena bahan-bahan olahan bisa didapat dengan mudah di pasar. Beragam bumbu, tempe, tahu, dan daging ayam dapat dibeli dengan mudah di pasar.
Sedangkan untuk bahan lawar dan campuran tum, mereka menggunakan bungkil atau umbi pohon pisang yang sangat mudah didapat di kampung mereka. “Untuk bungkil pohon pisang biasanya kami minta ke kebun-kebun warga. Biasanya kan ada pohon pisang yang sudah dipetik buahnya, itu kami ambil bungkilnya,” tutur putu Adi.
Lantaran hasilnya lumayan besar, mereka sepakat akan terus menekuni usaha ini meskipun mereka sudah mulai bersekolah nantinya. Pasalnya, aktivitas itu dapat dilakukan di sore hingga malam hari. “Karena hasilnya lumayan besar juga,” kata Aril. (Dewa Darmada)